21 Mei 2013

SHALAT BERJAMA'AH


TATA TERTIB DAN CARA IBADAH SHALAT BERJAMA’AH
A. Hukum cara ibadah shalat berjama’ah
1.   Dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a., sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda : “Shalat jum’at itu lebih utama daripada shalat munfarid (sendirian) dengan dua puluh tujuh derajat.” (Hadits Riwayat Muttafaq ‘alaih)
2.   Dari Abi Hurairah r.a., sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda : “Demi yan diriku ada dalam tangan kekuasaan-Nya, sungguh aku bermaksud memerintahkan mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku memerintahkan shalat, lalu adzan (untuk shalat), kemudian aku memerintahkan seorang laki-laki mengimaminya, lalu aku mendatangi mereka (laki-laki) yang tidak mengikuti shalat (jama’ah), maka aku bakar rumah-rumah mereka. Dan demi yang diriku ada dalam tangan kekuasaan-Nya, andai salah seoran gdiantara mereka tahu bahwa ia akan mendapat daging yang empuk atau dua tulang yang baik, pasti mereka akan ikut shalat jama’ah.” (Hadits Riwayat Muttafaq ‘alaih)
3.   Dan darinya (Abi Hurairah), ia berkata : Telah datang seorang laki-laki buta kepada Nabi saw. seraya berkata : “Ya Rasulullah, saya tidak mempunyai penuntun yang dapat mengantarku ke masjid”. Maka Nabi memberikan kemudahan kepadanya (untuk tidak datang ke masjid). Akan tetapi, ketika laki-laki itu berpaling (untuk pergi), Rasul memanggilnya agar kembali seraya bersabda : “Apakah engkau dengar panggilan (adzan) untuk shalat?” Laki-laki itu menjawab : “Ya”. Rasulullah bersabda : “Penuhilah olehmu panggilan tersebut.” (Hadits Riwayat Muslim)
Penjelasan :
Hadits no. 1 menunjukkan bahwa hukum cara ibadah shalat berjama’ah itu sunnah berdasarkan ungkapan “lebih utama daripada shalat munfarid.”
Hadits no. 2 tidak menunjukkan wajibnya cara ibadah shalat berjama’ah, tetapi hanya merupakan anjuran yang keras (sunnah mu’akkad) mengingat Nabi tidak jadi membakar rumah-rumah mereka dan kenyataannya mereka tidak mendapat sanksi apa-apa.
Hadits no. 3 juga tidak menunjukkan wajibnya cara ibadah shalat berjama’ah, tetapi titik tekannya ialah agar berusaha datang ke masjid, karena andai yang ditekankan itu wajib berjama’ahnya, tentu Nabi akan memerintahkan berjama’ah di rumahnya.
Haditsh-hadits di atas tidak bertentangan. Jadi hukum ibadah shalat berjama’ah shalat fardhu yang lima waktu adalah sunnah mu’akkad, ditambah kuatnya yang mana pernah ada seorang sahabat yang ketinggalan ibadah shalat berjama’ah, kemudian Nabi menganjurkan untuk bersedekah atasnya, ialah menyertai shalat dengannya.
4.   Dari Ibnu ‘Abbas r.a., dari Nabi saw., beliau bersabda : “Siapa yang mendengar seruan (adzan) tetapi tidak datang (untuk shalat), maka tidak ada shalat baginya kecuali ada udzur (alasan kuat).” (Subulus Salam)
B. Tempat berdiri (posisi) mak’mum
1.   Dari Ibnu ‘Abbas r.a., ia berkata : “Saya pernah shalat bersama Rasulullah saw. pada suatu malam, lalu saya berdiri di sebelah kirinya, maka Rasulullah saw. memegang kepalaku dari belakang, kemudian beliau menempatkanku di sebelah kanannya.” (Hadits Riwayat Bukhari – Muslim)
2.   Menurut cara atau pendapat sebagian pengikut Asy-Syafi’i, bahwa ma’mum dianjurkan agar berdiri tidak jauh di belakang imam. Hanya saja Ibnu Juraij telah meriwayatkan, ia berkata : “Aku bertanya kepada ‘Atha’ : ‘Seorang laki-laki shalat bersama seorang laki-laki lain, dimana ia mesti berdiri?’ Ia (‘Atha’) menjawab : ‘Disampingnya’. Aku bertanya lagi : ‘Apakah ia sejajar dengan imam, sehingga satu shaff bersamanya ataukah mundur salah satunya?’ Ia (‘Atha’) menjawab : ‘Ya, jangan jauh-jauh dan mesti rapat dengan imam’.” (Subulus Salam II : 31)
      Sebagian pengikut Imam Syafi’i menganjurkan kepada ma’mum agar berdiri di belakang imam sedikit, tetapi sepengetahuan kami (Asy-Syaukani), hal itu tidak ada dalilnya. (Nailul Authar III : 161)
      Dalam Al-Muwaththa’ dari Abdillah bin Mas’ud, ia berkata : “Aku masuk rumah ‘Umar bin Khaththab waktu zuhur, kemudian aku mendapatkan ‘Umar sedang shalat, lalu aku berdiri di belakangnya, kemudian ia merapatkanku hingga posisiku sejajar dengan beliau, yaitu berada di sebelah kanannya.” (Nailul Authar III : 161)
3.   Menurut cara atau pendapat Imam Syafi’i, apabila seorang laki-laki mengimami seorang laki-laki lain, maka hendaklah dengan cara imam menempatkan ma’mum di sebelah kanannya. Apabila mengimami seorang waria atau perempuan, maka hendaklah dengan cara keduanya ditempatkan (posisi/berdiri) di belakang imam, tidak sejajar. (Al-Umm I : 149)
4.   Menurut sunnah (Nabi), hendaklah seorang laki-laki (ma’mum) berdiri di sebelah kanan (sejajar), berdasarkan hadits riwayat Ibnu ‘Abbas (Al-Muhadzab I : 99)
5.   Dari Anas r.a., bahwa Rasulullah saw. telah mengimaminya dan seorang perempuan diantara mereka. Kemudian Nabi menermpatkan (Anas) di sebelah kanannya dan menempatkan perempuan di belakangnya (Hadits Riwayat Abu Dawud, Ainu Al-Ma’bud II : 318)
6.   Dari Anas r.a., ia berkata : “Rasulullah saw. pernah shalat, kemudian aku dan anak yatim berdiri di belakangnya, sedangkan Ummu Sulaim di belakang kami.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
Keterangan :
Berdasarkan hadits-hadits tersebut di atas, maka posisi ma’mum itu adalah sebagai berikut :
Jika  ma’mum itu laki-laki hanya berdua dengan imam (laki-laki), tempat atau posisi ma’mum itu hendaklah berada di sebelah kanan imam dengan cara sejajar dan merapat (tidak mundur di belakang imam). Demikian pula posisi ma’mum perempuan jika hanya berdua dengan imam perempuan.
Jika ma’mum itu seorang perempuan, sedangkan imamnya laki-laki, posisi ma’mum hendaklah berada di belakang imam (sekalipun suami-isteri).
Jika ma’mum terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka dilakukan dengan cara ma’mum laki-laki berdiri sejajar dengan imam (di sebelah kanan), sedangkan ma’mum perempuan berada di belakangnya.
Jika ma’mumnya terdiri dari 2 orang laki-laki dan seorang perempuan, maka dilakukan dengan cara ma’mum laki-laki berdiri di belakang imam, sedangkan ma’mum perempuan berada di belakang ma’mum laki-laki dan demikian seterusnya.
7.   Dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi saw., beliau bersabda : “Hendaklah mengikuti aku (dalam shaf shalat) mereka yang diwasa dan yang berakal, kemudian orang yang mengikuti mereka (kedudukannya) dan awas kamu ribut seperti ributnya suara di pasar.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Muslim, Nailul Authar III : 205)
8.   Dari ‘Abdurrahman bin Ghanam, ia berkata : Abu Malik Al-Asy’ari telah berkata : “Tidaklah mesti aku ceritakan kepadamu cara shalat Nabi saw?” Selanjutnya ia berkata : “Kemudian Nabi memerintahkan iqamah, lalu beliau menempatkan shaf laki-laki dewasa, kemudian anak-anak di belakang shaf mereka, setelah itu barulah Nabi shalat bersama mereka.” (Hadits Riwayat Abu Dawud)
9.   Adi Abi Hurairah, ia berkata : Rasulullah saw. telah bersabda : “Sebaik-baiknya shaf laki-laki adalah shaf di depan dan sejelek-jeleknya ialah shaf yang belakang. Dan sebaik-baiknya shaf perempuan adalah shaf yang belakang serta sejelek-jeleknya shaf perempuan adalah shaf yang depan.” (Hadits Riwayat Al-Jama’ah, kecuali Al-Bukhari; Nailul Authar III : 208)
10. Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah saw. telah bersabda : “Jadikanlah imam di tengah-tengah kamu dan tutuplah (isilah) tempat yang kosong.” (Hadits Riwayat Abu Dawud)
Keterangan :
Berdasarankan cara hadits ini, berarti posisi imam itu senantiasa berada di tengah-tengah ma’mum dari mulai jumlah ma’mum dua orang sampai seterusnya, jadi tidak dengan cara mendahulukan atau memenuhi sebelah kanan imam dahulu, sedangkan sebelah kiri imam kosong/tidak diisi.
C. Cara-cara ma’mum mengikuti imam
1.   Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata : Rasulullah saw. telah bersabda : “Sesungguhnya diangkat imam itu ialah agar disempurnakan dengannya. Apabila imam bertakbir, bertakbirlah kamu, tetapi janganlah kamu bertakbir sebelum imam selesai bertakbir. Apabila imam ruku’, hendaklah kamu ruku’. Apabila imam mengucapkan ‘sami’allahu li man hamidah’, ucapkan ‘allahumma rabbanaa lakal hamdu’. Apabila imam sujud, hendaklah kamu sujud dan jangan dulu sujud sebelum imam sujud. Apabila imam shalat berdiri, hendaklah kamu shalat sambil berdiri dan apabila imam shalat sambil duduk, hendaklah kamu semua shalat sambil duduk.” (Hadits Riwayat Abu Dawud I : 142)
      Berdasarkan cara hadits ini, ma’mum tidak boleh melebihi yaitu mendahului imam atau tertinggal atau menyertai imam, tetapi senantiasa ma’mum mengikuti imam.
2.   Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata : Rasulullah saw. telah bersabda : “Tidakkah takut salah seorang diantara kamu jika mengangkat kepalanya sebelum imam, Allah akan mengganti kepalanya dengan kepala himar atau Allah mengganti rupanya dengan rupa (wajah) himar?” (Hadits Riwayat Al-Jama’ah)
3.   Dari Anas r.a., ia berkata : “Rasulullah saw telah bersabda : ‘Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah imam kamu. Janganlah kamu mendahuluiku pada waktu ruku’ dan sujud, berdiri, duduk dan dalam bersalam.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Muslim)
D. Imam dan ma’mum mengucapkan aamiin bersama-sama
1.   Dari Abi Hurairah r.a., bahwasanya Nabi saw. bersabda : “Apabila imam mengucapkan aamiin, hendaklah kamu mengucapkan juga aamiin, karena sesungguhnya siapa yang mengucapkan aamiin – bersama dengan ucapan aamiin malaikat – niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.” (Hadits Riwayat Al-Bukhari, Fathu Al-Bari II : 262)
     Jumhur ulama menjelaskan … bahwa yang dimaksud dengan kalimat “idzaa ammana” (apabila imam membaca aamiin) ialah apabila imam hendak membaca aamiin, agar bersama-sama aamiin imam dengan aamiin ma’mum. (Fathu Al-Bari II : 262)
2. Dari Abi Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Apabila imam membaca ‘ghairil maghdhuubi‘alaihim wa ladh dhaalliin’, ucapkanlah ‘aamiin’, karena siapa yang bersesuaian ucapan aamiinnya dengan ucapan aamiin malaikat, niscaya diampuni dosa-dosanya.” (Hadits Riwayat Malik dalam Al-Mughni I : 564)
3. Menurut An-Nawawi rahimahullaah, hadits-hadits di atas menunjukkan disunnahkannya aamiin setelah Al-Fatihah, baik imam, ma’mum atau yang shalat munfarid (sendirian). Seyogyanya aamiin ma’mum itu bersamaandengan aamiin imam, jangan sebelumnya atau sesudahnya, mengingat sabda Nabi saw. : “Apabila imam membaca ‘wa ladh dhaalliin’, ucapkan aamiin”. Adapun riwayat “idzaa ammana fa amminuu” maksudnya ialah apabila imam hendak aamiin. (Fathu Ar-Rabbani III : 205)
4. Dari Abi Hurairah, ia berkata : “Adalah Rasulullah saw. bila membaca ‘ghairil maghdhuubi ‘alaihim wa ladh dhaalliin’, beliau mengucapkan aamiin sehingga orang yang dekat dengan Nabi, yang ada di shaf pertama dapat mendengarnya.” (Hadits Riwayat Abu Dawud)
E.  Yang paling berhak menjadi imam
1. Dari Abi Sa’id, ia berkata : “Rasulullah saw. bersabda ‘Apabila mereka bertiga, hendaklah salah seorang menjadi imam dan yang paling berhak menjadi imam adalah orang yang paling menguasai Al-Qur’an.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Muslim)
2. Dari Abu Mas’ud Al-Anshari, ia berkata : “Rasulullah saw. telah bersabda : ‘Hendaklah mengimami suatu kaum, orang yang paling menguasai Al-Qur’an. Apabila mereka sama dalam penguasaan Al-Qur’an, hendaklah orang yang paling mengetahui  Nabi. Apabila mereka juga sama dalam penguasaan haditsnya, pilih yang lebih dahulu hijrahnya. Apabila mereka bersama-sama hijrahnya, pilih yang lebih dahulu masuk islamnya dan janganlah sekali-kali seseorang mengimami seseorang di tempat kekuasaannya (ditempat menetapnya, domisilinya) dan janganlah seseorang duduk di rumah yang lain (orang lain) di atas hamparan (tikar) khusus pribumi kecuali atas izinnya.” (Hadits Riwayat Muslim)
F.  Perempuan menjadi imam
1. Dari Ummu Waraqah r.a., bahwa Nabi saw. telah memerintah kepadanya (Ummu Waraqah) mengimami penghuni rumahnya (Ummu Waraqah). (Hadits Riwayat Abu Dawud)
2. Adalah ‘Aisyah r.a. pernah mengimami perempuan dan ia berdiri bersama mereka dalam satu shaf. (Fiqhus Sunnah I : 113)
Keterangan :
Mengenai cara atau posisi imam perempuan, ada yang berpendapat imam perempuan mesti berada di tengah-tengah ma’mum, sejajar dengan mereka. Sementara ada yang berpendapat bahwa imam perempuan sama saja dengan imam laki-laki berdiri di depan ma’mum. Menurut pendapat Almarhum Al-Ustadz K.H.E. ‘Abdurrahman, sebagai berikut :
Dimana imam mesti berdiri?
Imam laki-laki atau perempuan mempunyai ketentuan yang sama, yaitu berdiri di depan ma’mum, kecuali bila ma’mumnya hanya satu orang, maka ma’mum berdiri di sebelah kanan imam, sejajar.
Adapun arti kata “shaf” ialah garis. Misalkan imam berkata : “Bereskan shaf kamu sekalian!” maksudnya adalah rapikan garis/barisannya. Jadi, apabila ada keterangan imam berdiri di tengah-tengah mereka dalam shaf, tidak berarti imam sejajar, tetapi garis tempat imam berdiri itu di tengah. Tidak ada yang mengartikan bahwa imam perempuan mesti sejajar dengan ma’mum sekalipin ma’mumnya banyak.
Imam selalu harus berdiri bukan di sebelah kiri atau kanan, melainkan di tengah-tengah garis. Jadi, bila ma’mum ada enam orang, imam berdiri di depan mereka, di kanan belakang imam tiga orang, di sebelah kiri belakang imam juga tiga orang ma’mum.
Ibnu Hazmin dalam Al-Muhala 4 : 220 berkata, sehubungan dengan kata-kata fish shiffi (dalam garis) : “Saya sama sekali tidak mengetahui (mendapatkan) hujjah untuk melarang perempuan berdiri di depan dan hukumnya pada pandangan saya dia berdiri di depan ma’mum perempuan.”
Dalam Subulus Salam diterangkan :
“Apabila perempuan shalat dan imamnya perempuan, shaf mereka seperti shaf laki-laki, yaitu shaf-shaf yang paling utama adalah shaf yang pertama.”
Tidak ada yang mengartikan kata-kata “dalam shaf” itu, imam sejajar dengan ma’mum secara mutlak. Imam Syafi’i menyuruh supaya imam perempuan sejajar dengan shaf yang pertama, tetapi Imam Syafi’i sendiri menerangkan dalam Al-Um I : 145 : “Apabila seorang perempuan (imam) berdiri di depan perempuan-perempuan (ma’mum), shalatnya imam dan dibelakangnya sah (memadai).”
Perkataan Imam Syafi’i ini suatu dalil tentang tidak adanya hujjah yang shahih, menthaksis imam perempuan mesti sejajar di tengah-tengah shaf yang pertama.
Dalam hadits riwayat Abu Dawud, Rasulullah saw. memerintahkan dengan mutlak “washithu imama”, artinya “Tempatkanlah imam di tengah-tengah”. Perintah tersebut tidak berarti bahwa imam laki-laki atau perempuan berdiri di tengah-tengah sejajar dengan ma’mum, tetapi “muqabbilun li washathis shaffi”, artinya searah dengan tengah-tengah shaf para ma’mum. (Bustanul Ahbar I : 254 – Risalah Wanita halaman 78-81)
G.  Perempuan turut ibadah shalat berjama’ah di masjid
1. Dari Ibnu ‘Umar r.a., dari Nabi saw., beliau bersabda : “Jika isteri-isteri kalian meminta izin kalian untuk pergi ke masjid pada malam hari, izinkanlah mereka.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)
     Dalam riwayat lain : “Jangan kalian larang isteri-isteri kalian untuk pergi ke masjid, tetapi (memang) shalat di rumah adalah lebih utama bagi mereka (perempuan).” (Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)
2. Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw. telah bersabda : “Jangan kalian halang-halangi hamba Allah (perempuan) untuk datang ke masjid, melainkan hendaklah mereka keluar dengan pakaian sederhana.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)
H.  Anak kecil menjadi imam
      Dari ‘Amr bin Salamah r.a., ia berkata : Ayahku telah berkata : “Aku datang kepadamu betul-betul dari sisi Nabi saw. Nabi saw. bersabda : ‘Apabila datang waktu shalat, hendaklah salah seorang diantaramu adzan dan hendaklah menjadi imam orang yang paling banyak hafal Al-Qur’annya’, dan ia berkata : ‘lalu mereka melihat dan ternyata tidak ada seorang pun yang paling banyak hafal Al-Qur’an daripadaku, kemudian mereka mempersilahkanku untuk menjadi imam. Sedangkan pada waktu itu aku baru berumur enam atau tujuh tahun’.” (Hadits Riwayat Al-Bukhari, Subulus Salam II : 27)
I.   Orang buta menjadi imam
      Dari Anas r.a., sesungguhnya Nabi saw. mengangkat Ibnu Umi Maktum untuk mengimami orang-orang, padahal dai seorang yang buta. (Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)
J.   Laki-laki mengimami perempuan
      Abu Ya’la dan At-Thabrani dalam Al-Ausath telah meriwayatkan dengan sanad yang hasan, bahwa Ubay bin Ka’ab telah datang kepada Nabi saw., lalu bertanya : “Ya Rasulullah, tadi malam saya mengerjakan sesuatu.” Rasul bertanya : “Apa yang telah kamu kerjakan itu?” Ia menjawab : “Perempuan-perempuan di rumah (bersamaku), mereka berkata : ‘Sesungguhnya kamu dapat membaca Al-Qur’an, sedang kami tidak dapat membaca, maka shalatlah bersama kami.’ Aku pun shalat delapan raka’at ditambah witir, maka Nabi saw. diam (tidak menjawab).” Ia berkata : “Kami mengira/menduga bahwa diamnya Nabi berarti setuju”.    (Fiqhus As-Sunnah II : 112)
K.  Imam yang dibenci kaumnya
      Dari Ibnu ‘Abbas, dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda : “Tiga orang yang tidak akan diangkat (diterima) shalatnya di atas kepalanya, walau sejengkal, ialah laki-laki yang mengimami suatu kaum padahal mereka membencinya dan seorang perempuan yang tidur dalam keadaan suaminya marah kepada isterinya serta dua orang bersaudara yang saling bermusuhan.” (Hadits Riwayat Ibnu Majah, menurut Al-‘Iraqi sanadnya hasan, Fiqh As-Sunnah)
L.  Imam meringankan shalatnya
1. Dari Abi Hurairah r.a., bahwasanya Nabi saw. bersabda : “Apabila salah seorang di antara kamu mengimami shalat, ringkaskanlah, karena di antara mereka ada yang lemah, sakit dan tua. Akan tetapi, jika shalat sendiri (munfarid), panjangkanlah (bacaannya) sekehendaknya.” (Hadits Riwayat Al-Jama’ah, kecuali Ibnu Majah)
2. Dari Anas, dari Nabi saw., beliau bersabda : “Sesungguhnya aku shalat, sedang aku bermaksud memanjangkan bacaan, lalu aku mendengar tangisan seorang anak, kamudian aku mempersingkat shalatku, karena aku tahu akan mengganggu ibunya tersebab tangisannya itu.” (Hadits Riwayat Al-Jama’ah, kecuali Abu Dawud, Nailul-Authar III : 154)
M. Tasbih dan tepuk tangan
Dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi, dari Nabi saw., beliau bersabda : “Siapa yang terganggu (terlupa) sesuatu dalam shalatnya, maka bacalah ‘subhaanallaah’, sesungguhnya tepuk tangan (cara memberi tahu) untuk perempuan dan tasbih (subhanallaah) untuk laki-laki.” (Hadits Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i; Fiqhus As-Sunnah II : 162)
N.  Cara mengingatkan imam (yang lupa bacaan)
      Dari Ibnu ‘Umar, sesungguhnya Nabi saw. pernah shalat, lalu beliau membaca Al-Qur’an, tetapi beliau keliru. Tatkala selesai shalat beliau bersabda kepada ayahku : “Apakah engkau turut shalat bersamaku?” Ia menjawab : “Ya”. Lalu Nabi bersabda : “Mengapa kamu tidak mengingatkanku?” (Hadits Riwayat Abu Dawud dan lain-lain serta rawinya orang-orang terpercaya; Fiqhu Al-Sunnah II : 163)
O.  Merapatkan/meluruskan shaf
1. Dari Anas, bahwa Nabi saw. bersabda : “Rapatkanlah barisanmu, karena merapatkan barisan juga termasuk kesempurnaan shalat.” (Hadits Riwayat Bukhari – Muslim; Nailul Authar III : 213)
2. Dari Anas, ia berkata : “AdalahRasulullah saw. suka menghadap terlebih dahulu kepada kami (wajahnya) sebelum ia bertakbir, seraya mengatakan : ‘Rapatkanlah dan luruskanlah shafnya’.” (Hadits Riwayat Bukhari – Muslim)
3. Dari Abi Mas’ud, ia berkata : “Adalah Rasulullah saw. suka menepuk pundak kami pada waktu (sebelum) shalat dengan mengatakan : ‘Rapatkanlah atau luruskanlah dan janganlah berselisih (tidak seragam), akibatnya akan berselisih pula hati kamu. Hendaklah mengikuti dalam shaf mereka yang dewasa dan yang berakal (berilmu), kemudian yang berdekatan dengan mereka kedudukannya.” (Hadits Riwayat Muslim)
P.  Adanya penghalang/pembatas antara imam dan ma’mum
      Dari ‘Aisyah, ia berkata : “Kami mempunyai hamparan/tikar yang biasa kami bentangkan pada waktu siang dan kami jadikan dinding pada waktu malam, lalu Rasulullah saw. shalat di atasnya pada suatu malam, sedang orang-orang mendengar bacaannya, lalu mereka shalat mengikuti shalat Nabi. Pada malam kedua orang bertambah banyak, kemudian Nabi melihat mereka seraya berkata : ‘Lakukanlah pekerjaan itu dalam batas kemampuan kamu, karena Allah tidak akan merasa bosan atau jenuh’.” (Hadits Riwayat Ahmad; Nailul Authar III : 321)
Q. Tempat imam lebih tinggi dari pada ma’mum atau sebaliknya
1. Dari Hammam, bahwa Hudzalifah pernah mengimami orang-orang di Madain di atas sebuah toko, kemudian Abu Mas’ud memegang bajunya, lalu menariknya ketika selesai shalatnya. Ia menyatakan : “Tidakkah kau tahu bahwa mereka dilarang berbuat itu?” Hudzalifah menjawab : “Ya, aku sadar ketika engkau menariknya.” (Hadits Riwayat Abu Dawud)
2. Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : “Rasulullah saw. telah melarang imam berdiri di tempat yang tinggi, sedangkan orang-orang (ma’mum) berada di bawahnya.” (Hadits Riwayat Ad-Daraquthuni, Fiqhu As-Sunnah I : 202)
Keterangan :
Berdasarkan hadits tersebut, imam tidak boleh berada di tempat yang lebih tinggi dari pada ma’mum. Adapun tempat ma’mum lebih tinggi daripada imam, maka tidak apa-apa mengingat ada hadits riwayat Sa’id bin Mashur, Asy-Syafi’i dan Al-Baihaqi, dari Abu Hurairah, bahwa dia pernah shalat di lantai atas masjid mengikuti shalatnya imam (berjama’ah). Lihat Fiqhu As-Sunnah I : 240)
R.  Muqimin berma’mum kepada musafir
1. Dari ‘Imran bin Hushain, ia berkata : “Tidaklah Rasulullah saw. bepergian, kecuali shalat dua raka’at sampai beliau kembali dan beliau pernah tinggal di Makkah waktu Fathul Makkah selama 18 malam, beliau shalat dua raka’at-dua raka’at terkecuali maghrib, kemudian beliau menyatakan : ‘Wahai penduduk Makkah, shalatlah dua raka’at lagi. Sesungguhnya kami kaum yang berada di perjalanan’.” (Hadits Riwayat Ahmad)
2. Dari ‘Umar, bahwasanya ketika tiba di Makkah, ia shalat dengan mereka (penduduk Makkah) dua raka’at, kemudian (‘Umar) berkata : “Wahai penduduk Makkah, sempurnakan shalat kalian, karena kami kaum sedang dalam perjalanan.”
Menurut riwayat dari Thalq bin ‘Ali : “Tidak sah shalat sendirian di belakang shaf.”
3. At-Thabrani menambahkan pada hadits Wabishah : “Mengapa engkau tidak masuk bersama mereka (dalam shaf terdepan) atau menarik seseorang (dari shaf depan untuk menyertainya)?” (Subulus Salam II : 32)
4. Sesungguhnya riwayat hadits-hadits di atas saling menguatkan serta tidak saling menjatuhkan. Kesemuanya bersandar/bersanad pada yang shahih serta rawi-rawinya tsiqat (Sunan Imam Tarmidzi dengan Syarah Ahmad Muhammad Syakir I : 45)
     As-Syafi’i mendhaifkan hadits ini, beliau menyatakan : “Andai hadits ini shahih, pasti aku mengatakannya.” Tanggapan itu ditentang Al-Baihaqi – salah seorang pengikut Asy-Syafi’i – menyatakan hal itu bahwa menurutnya hadits tersebut kuat. (Nailul Authar III : 211)
S.  Ma’mum memisahkan diri dari imam
Dari Jabir, ia berkata : “Adakah Mu’adz shalat isya berasama Rasulullah saw., kemudian ia pulang ke kaumnya dan terus mengimami mereka. Pada waktu itu Nabi saw. Mengakhirkan shalatnya, lalu ia shalat bersama beliau, kemudian ia pulang ke kaumnya, kemudian ia membaca surat Al-Baqarah, lalu mundurlah seorang laki-laki kemudian shalat sendirian, maka dikatakan kepadanya ‘kamu munafik, wahai fulan’. Fulan menjawab : ‘Tidak, saya tidak munafik dan saya akan datang kepada Rasulullah saw. Untuk memberitahukan’. Ia pun datang kepada Nabi kemudian ia menceritakan kejadian tersebut kepada Nabi, maka Nabi berkata (kepada Mu’adz) : ‘Apakah engkau mau membuat fitnah, wahai Mu’adz? Bacalah surat ini!’” (Hadits Riwayat Al-Jama’ah; Fiqhu As-Sunnah I : 20)
T.  Musafir berma’mum kepada muqimin
Dari Ibnu’ Abbas, bahwa ia pernah ditanya : “Bagaimana keadaan orang yang safar, shalat dua raka’at apabila sendirian (tidak berjama’ah dengan pribumi) dan empat raka’at bila berjama’ah dengan orang muqimin/pribumi?” Ibnu’ Abbas menjawab : “Bagaimana sesungguhnya kami bila shalat bersama kaum pribumi, kami shalat empat raka’at dan apabila kami pulang (ke penginapan), kami shalat dua raka’at?” Abbas menjawab : “Itu adalah sunnah Abu Qasim (Nabi).” (Hadits Riwayat Ahmad; Nailul Authar III : 189)
U.  Yang shalat fardhu berma’mum kepada yang shalat sunnah
1. Dari Jabir, bahwasanya Mu’adz shalat bersama Nabi saw. shalat ‘Isya’ yang akhir, kemudian ia (Mu’adz) pulang ke kaumnya, kemudian shalat bersama kaumnya, shalat yang itu juga (shalat ‘Isya’ dua kali). (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim; Nailul Authar III : 190)
2. Dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah saw. melihat seorang laki-laki shalat sendirian, lalu Nabi bersabda : “Mengapa tidak ada seorang laki-laki yang bersedekah kepadanya, kemudian shalat bersamanya?” (Hadits Riwayat Abu Dawud; Ainu AL-Ma’bud II : 282)
V.  Masalah dua kali ibadah shalat
1. Dari Jabir bin Yazid bin Aswad, dari ayahnya, bahwa ia pernah shalat bersama Rasulullah saw. pada saat ia masih muda. Setelah beliau shalat, lalu Nabi memanggil keduanya, kemudian mereka datang dalam keadaan gemetar, lalu beliau bertanya : “Apa yang menyebabkan kalian tidak ikut shalat bersama kami?” Keduanya menjawab : “Sungguh kami telah sahalt di tempat kami”. Beliau bersabda : “Jangan kamu berbuat begitu! Jika seseorang di antara kamu telah melaksanakan shalat di tempatnya, kemudian ia mendapatkan imam belum shalat, shalatlah bersamanya dan itu merupakan sunnah baginya.” (Hadits Riwayat Abu Dawud)
2. Boleh ibadah shalat fardhu berma’mum kepada yang ibadah shalat sunnah, begitu juga yang ibadah shalat fardhu kepada yang ibadah shalat fardhu yang lain berdasar hadits riwayat Jabir bin ‘Abdillah r.a., yakni bahwa Mu’adz pernah shalat bersama Rasulullah saw., yaitu ‘Isya’, kemudian ia pulang ke kaumnya Bani Salamah, kemudian ia shalat lagi (mengimami mereka). Dalam hal mana baginya (Mu’adz) ibadah shalat itu sunnah dan bagi mereka merupakan ibadah shalat (wajib) ‘Isya’, ditambah pula berma’mum itu terjadi dalam perbuatan zhahir (gerakan fisik) dan hal itu dapat – sekalipun berbeda niat. Adapun bila seseorang melaksanakan ibadah shalat gerhana di belakang orang shalat shubuh atau shalat shubuh di belakang orang yang shalat gerhana, maka hal itu tidak boleh. (Al-Muhadzdzab I : 98)
W.  Imam yang fasik dan ahli bid’ah
1. Dari Abi Hurairah r.a., sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda : “Mereka (para imam) shalat untuk kamu (ma’mum). Jika shalat imam benar/cocok, hal itu sempurna bagi kamu dan bagi mereka dan manakala mereka salah, bagi kamu (ma’mum) tetap sempurna dan (kesalahan imam) itu tanggung jawab mereka (para imam).” (Hadits Riwayat Bukhari; Nailul Authar III : 197)
2. Hasan pernah ditanya tentang seseorang yang shalat di belakang ahli bid’ah, maka Hasan menjawab : “Shalatlah di belakangnya dan perbuatan bid’ahnya itu tanggung jawabnya.” (Fathu Al-Bari II : 158)
3. Telah berkata ‘Abdu Al-Karim Al-Bakka’ : “Aku pernah mendapatkan sepuluh sahabat Rasulullah saw. ketika mereka shalat di belakang pemimpin-pemimpin yang dzalim.” (Hadits Riwayat Bukhari dalam Tarikhnya)
4. Dari Jabir, dari Nabi saw., beliau besabda : “Janganlah seorang perempuan mengimami laki-laki dan juga seorang Arab gunung mengimami Muhajir dan tidak juga seseorang yang fajir/durhaka mengimami orang mu’min, kecuali andaikata dia memaksakan dengan kekuatannya yang pada (mu’min) takut akan pedang atau cambuknya.” (Hadits Riwayat Ibnu Majah)
Keterangan :
Dalam sanad hadits huruf W. no. 4 tersebut di atas ada seseorang bernama ‘Abdullah bin Muhammad Al-Tamimi. Dia lemah hafalannya dan menurut Bukhari haditsnya munkar. Menurut Ibnu Hibban, tidak boleh berhujjah dengan hadits itu dan menurut Waki’ dia suka memalsukan hadits. (Nailul Authar III : 184)
X.  Shalat sendirian dan di belakang shaf
1. Dari ‘Ali bin Syaiban, bahwa Rasulullah saw. melihat seorang laki-laki shalat sendirian di belakang shaf, kemudian Nabi berdiri sampai laki-laki itu selesai shalatnya, lalu Nabi mengatakan kepadanya : “Ulangi shalatmu, karena tidak sah shalat sendirian di belakang shaf itu.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah; Nailul Authar III : 209)
2. Dari Wabishah bin Ma’bad Al-Juhani r.a., bahwasanya Rasulullah saw. melihat seorang laki-laki shalat sendirian di belakang shaf, lalu beliau memerintahkan kepadanya agar mengulangi shalatnya. (Hadits Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi, serta menghasankan hadits itu dan menshahihkannya Ibnu Hibban)
3. Dan menurut riwayat (pula), dari Thalq abin ‘Ali : “Tidak sah shalat sendirian di belakang shaf”. At-Thabrani menambahkan pada hadits Wabishah : “Mengapa engkau tidak masuk berasama mereka (dalam shaf terdepan) atau menarik seseorang (dari shaf depan untuk menyertainya)?”
4. Pendapat yang kuat dan benar
     Sesungguhnya riwayat hadits-hadits di atas saling menguatkan serta tidak saling menjatuhkan. Kesemuanya bersandar/bersanad pada yang shahih serta rawi-rawinya tsiqat. (Sunan Imam Tirmidzi dengan syarah Ahmad Muhammad Syakir I : 45)
     Syafi’i mendhaifkan hadits ini dan beliau menyatakan : “Andai hadits ini shahih, pasti aku mengatakannya.” Tanggapan itu ditentang Al-Baihaqi – salah seorang pengikut Syafi’i – menyatakan hal itu bahwa menurutnya hadits tersebut kuat. (Nailul Authar III : 211)
5. Menurut Al-Zaila’i dalam Nashbi Ar-Rayah (I : 244), hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya dengan dua sanad tersebut di atas, kemudian menyatakan : “Hilal bin Yasaf mendengarnya dari ‘Umar bin Rasyid dan dari Ziyad bin Abi Al-Ja’di, dari Wabishah bin Ma’bad.” Jadi keuda hadits tersebut kuat.
6. Menurut kebanyakan ashhab Syafi’i (pengikut Syafi’i), seyogyanya seorang menarik seseorang lain untuk menyertainya dan orang yang ditarik itu hendaknya membantunya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan, baik yang datang di tengah-tengah shalat maupun yang datang di permulaan shalat.” (Tuhfat Al-Ahwadzi II : 25)
Y.  Imam menghadap ma’mum setelah shalat
1. Dari Samurah, ia berkata : “Adalah Nabi saw. jika (selesai) shalat, beliau suka menghadap kepada kami.” (Hadits Riwayat Bukhari)
2. Dari Barra’ bin Azib, ia berkata : “Apabila kami shalat di belakang Rasulullah, kami suka berada di sebelah kanannya, lalu beliau menghadap kepada kami (setelah shalat).” (Hadits Riwayat Muslim dan Abu Dawud I : 144)
Keterangan :
Hadits no. 1 menunjukkan cara Rasulullah saw.  setelah selesai melaksanakan ibadah shalatnya menghadap langsung ke arah ma’mum.
Hadits no. 2 menunjukkan cara Rasulullah saw. menghadap ke arah kanan ma’mum. Oleh karenanya, imam boleh langsung menghadap ma’mum atau ke sebelah kanannya.
Z.  Pendapat para ulama tentang masbuq
      Tentang hal ini ada dua pendapat :
1. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ma’mum yang mendapatkan imam sedang ruku’, maka ia berarti mendapat satu raka’at, berdasarkan hadits-hadits :
1.1.   Siapa yang mendapatkan ruku’, berarti ia mendapat satu raka’at. (Hadits Riwayat Abu Dawud; Fiqh Sulaiman Rasyid : 116)
1.2.   Dari Abi Hurairah r.a., ia berkata : “Rasulullah saw. telah bersabda : ‘Apabila kamu sedang untuk shalat, padahal kami sedang sujud, maka sujudklah dan jangan kamu hitung sesuatu (satu raka’at) dan siapa yang mendapatkan ruku’ berarti ia mendapat satu ruku’ (raka’at) dalam shalatnya.” (Hadits Riwayat Abu Dawud I : 207)
         Menurut Jumhur “Yang dimaksud ruku’ – di sini – adalah raka’at. Jadi, siapa yang mendapatkan imam sedang ruku’ berarti ia mendapat (satu) raka’at.” (Al-Mu’in AL-Mubin I : 93)
1.3.   Juga telah diriwayatkan secara marfu’ dari Abi Hurairah : “Siapa yang mendapatkan ruku’ dari shalat sebelum imam menegakkan tulang rusuknya, berarti ia mendapat satu raka’at”. Dan telah dijadikan sebuah judul dari hadits tersebut. Bab yang menerangkan ketika – dalam hal mana – ma’mum mendapat satu raka’at manakala ma’mum (mendapatkan) ruku’ bersama imam. (Subulus Salam II : 36)
         Dalam riwayat Ad-Daruquthni yang dishahihkan oleh Ibnu Hibban (diterangkan) : “Siapa yang mendapatkan ruku’ dari shalat, sebelum imam menegakkan tulang rusuknya (bangkit dari ruku’), maka ia berarti mendapat satu raka’at.” (Masail Al-Muhimah : 37)
1.4.   Bahwa sesungguhnya Abu Bakrah telah datang untuk shalat bersama Nabi saw., sedang beliau dalam keadaan ruku’ – sebelum sampai menuju shaf – hal itu disampaikan kepada Nabi., maka beliau bersabda : “Semoga Allah menambah kesungguhanmu, tetapi jangan kamu ulangi lagi.” (Hadits Riwayat Bukhari)
Mereka yang berpendapat bahwa ma’mum ketinggalan Al-Fatihah berarti tidak mendapatkan raka’at. Jawaban atas pendapat/alasan golongan ini :
Pada hadits yang lain terdapat rawi yang bernama Yahya bin Abi Sulaiman Al-Mahdani. Menurut ‘Amir Al-Mukminin di dalam hadits ialah : Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari dalam Kitab Juz-u Al-Qira’at, Yahya- yang ini – munkaru al-hadits. (Mizanu Al-I’tidal IV : 383; ‘Ainu Al-Ma’bud III : 147)
Maksud ucapan Al-Bukhari “munkari al-hadits” :
Menurut (pernyataan Al-Bukhari : “Setiap orang yang kami nyatakan munkaru al-hadits berarti tidak dapat dijadikan hujjah.” – bahkan – dalam satu riwayat (dinyatakan) : “… tidaklah boleh meriwayatkan darinya.” (Fathu Al-Mughits I : 346)
Menurut yang lain, hadits tersebut telah diriwayatkan sendirian oleh Yahya bin Sulaiman, sedang dia itu tidak kuat hafalannya. (‘Aun Al-Ma’bud III : 147)
Hadits tersebut bukan dalil atas pendapat mereka, karena Anda pasti tahu bahwa yang disebut raka’at itu mencakup semua aspek bacaan, rukun-rukunnya secara hakiki, syara’, maupun ‘urf (kebiasaan). Kedua arti tersebut harus lebih didahulukan daripada arti menurut bahasa. Demikian ketetapan para ahli suhul (fiqh). (Nailul Authar II : 245)
Di sini tidak terdapat qarinah/alasan apapun yang memalingkan arti hakiki raka’at (kepada arti lain yakni ruku’), maka hadits termaksud bukan dalil bahwa yang mendapatkan imam dalam keadaan ruku’ berarti mendapat satu raka’at (‘Aun Al-Ma’bud III : 148)
Tertulis dalam catatan kami Al-Mughni atas Sunan Ad-Daruquthni : “Di dalam hadits termkasud ada seseorang rawi bernama Yahya bin Humaid. Menurut Al-Bukhari, tidak terdapat mutabi’ (jalan lain yang dapat menguatkan) haditsnya dan juga telah dinyatakan dhaif oleh Ad-Daruquthni.” (‘Aun Al-Ma’bud III : 148)
Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla telah menjawab/membahas mengenai hadits Abi Bakrah – menurutnya – bahwa hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah/alasan oleh mereka dalam hal termaksud, karena pada hadits tersebut tidak dinyatakan cukup (terhitung) raka’at. (‘Aun Ma’bud III : 141)
Menurut Al-Syaukani : “Dalam hadits tersebut tidak ada dalil/bukan dalil yang menguatkan pendapat mereka, karena sebagaimana dimaklumi tidak ada perintah untuk mengulangi (raka’at), tapi juga tidak menyatakan terhitung raka’at. Adapun Nabi mendo’akan kepadanya agar lebih bersungguh-sungguh itu tidak berarti terhitung raka’at.” (Nailul Authar II : 246)
2. Dalil-dalil yang menyatakan hanya mendapatkan ruku’ bersama imam tidaklah terhitung raka’at :
2.1.   Dari Abi Hurairah r.a., bahasanya ia berkata : “Jika engaku mendapatkan suatu kaum sedang ruku’, tidak terhitung raka’at.” (Hadits Riwayat Bukhari, ‘Aun Al-Ma’bud III : 146)
2.2.   Dari Qatadah, bahwanya Nabi saw. suka membaca Fatihah kitab pada setiap raka’at. (Hadits Riwayat Tirmidzi)
2.3.   Dari Abi Hurairah, dari Nabi saw., beliau bersabda : “Apabila kamu mendengar iqamat, pergilah untuk shalat dan kamu mesti tenang, santai serta tidak tergesa-gesa. Apa yang kamu dapati (bersama imam), shalatlah dan apa yang ketinggalan (dari imam), maka sempurnakanlah.” (Hadits Riwayat Al-Jama’ah)
2.4.   Menurut Imam Al-Hafizh dalam Kitab Fathu Al-Bari : “Hadits itu dapat dijadikan dalil/alasan bahwa orang yang mendapatkan imam sedang ruku’ tidak dihitung raka’at, karena ada perintah untuk menyempurnakan apa-apa yang ketinggalan, sedangkan – dalam hal ini – jelas ma’mum ketinggalan (tidak ikut) berdiri dan membaca Fatihah. (Fatihu Al-Bari II : 99)
2.5.   Dengan ini jelaslah kelemahan alasan-alasan pendapat jumhur yang menyatakan bahwa siapa yang mendapatkan imam dalam keadaan ruku’, termasuk raka’at bersama imam dan bisa dihitung satu raka’at sekalipun tidak mendapat bacaan Fatihah sedikitpun. (‘Aun Al-Ma’bud III : 147)
2.6.   Inilah Muhammad bin ‘Isma’il Al-Bukhari, salah seorang mujtahid serta figur/tokoh agama. Beliau berpendapat bahwa yang mendapatkan ruku’ (bersama-sama dengan imam) tidak dihitung mendapatkan raka’at sampai ia membaca Fatihah kitab (dengan sempurna). Barangsiapa yang masuk (shalat) bersama imam pada saat ruku’, maka ia mesti mengulangi lagi raka’at itu (yang tidak sempat membaca Fatihah) setelah imam salam. (‘Aun Al-Ma-bud III : 152)



Sumber : Habib Hassan bin Ahmad Al-Mahdaly (Radio Dakta 107.0 FM)


0 komentar:

Posting Komentar

Situs ini menerapkan “Dofollow Site Comment System”
Beri komentar sebanyak-banyaknya yang tentunya akan membawa manfaat pula bagi perkembangan blog/situs Anda. Namun komentar Anda harus dengan syarat :

1. Tidak mengandung Spam, SARA, Pornografi;
2. Komentar harus ada kaitannya dengan materi yang dibahas
dalam posting;
3. Tidak berisi link aktif di dalam badan komentar.

Selamat berkomentar dan semoga bermanfaat bagi perkembangan blog/situs Anda.

Terima kasih.