TATA TERTIB DAN CARA IBADAH SHALAT BERJAMA’AH
A. Hukum cara ibadah shalat berjama’ah
1. Dari
‘Abdullah bin ‘Umar r.a., sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda : “Shalat jum’at itu lebih utama daripada
shalat munfarid (sendirian) dengan dua puluh tujuh derajat.” (Hadits
Riwayat Muttafaq ‘alaih)
2. Dari
Abi Hurairah r.a., sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda : “Demi yan diriku ada dalam tangan
kekuasaan-Nya, sungguh aku bermaksud memerintahkan mengumpulkan kayu bakar,
kemudian aku memerintahkan shalat, lalu adzan (untuk shalat), kemudian aku
memerintahkan seorang laki-laki mengimaminya, lalu aku mendatangi mereka
(laki-laki) yang tidak mengikuti shalat (jama’ah), maka aku bakar rumah-rumah
mereka. Dan demi yang diriku ada dalam tangan kekuasaan-Nya, andai salah seoran
gdiantara mereka tahu bahwa ia akan mendapat daging yang empuk atau dua tulang
yang baik, pasti mereka akan ikut shalat jama’ah.” (Hadits Riwayat Muttafaq
‘alaih)
3. Dan
darinya (Abi Hurairah), ia berkata : Telah datang seorang laki-laki buta kepada
Nabi saw. seraya berkata : “Ya
Rasulullah, saya tidak mempunyai penuntun yang dapat mengantarku ke masjid”.
Maka Nabi memberikan kemudahan kepadanya (untuk tidak datang ke masjid). Akan
tetapi, ketika laki-laki itu berpaling (untuk pergi), Rasul memanggilnya agar
kembali seraya bersabda : “Apakah engkau
dengar panggilan (adzan) untuk shalat?” Laki-laki itu menjawab : “Ya”. Rasulullah bersabda : “Penuhilah olehmu panggilan tersebut.”
(Hadits Riwayat Muslim)
Penjelasan :
Hadits
no. 1 menunjukkan bahwa hukum cara ibadah shalat berjama’ah itu sunnah
berdasarkan ungkapan “lebih utama
daripada shalat munfarid.”
Hadits
no. 2 tidak menunjukkan wajibnya cara ibadah shalat berjama’ah, tetapi hanya
merupakan anjuran yang keras (sunnah mu’akkad) mengingat Nabi tidak jadi
membakar rumah-rumah mereka dan kenyataannya mereka tidak mendapat sanksi
apa-apa.
Hadits
no. 3 juga tidak menunjukkan wajibnya cara ibadah shalat berjama’ah, tetapi
titik tekannya ialah agar berusaha datang ke masjid, karena andai yang
ditekankan itu wajib berjama’ahnya, tentu Nabi akan memerintahkan berjama’ah di
rumahnya.
Haditsh-hadits
di atas tidak bertentangan. Jadi hukum ibadah shalat berjama’ah shalat fardhu
yang lima waktu adalah sunnah mu’akkad, ditambah kuatnya yang mana pernah ada
seorang sahabat yang ketinggalan ibadah shalat berjama’ah, kemudian Nabi
menganjurkan untuk bersedekah atasnya, ialah menyertai shalat dengannya.
4. Dari
Ibnu ‘Abbas r.a., dari Nabi saw., beliau bersabda : “Siapa yang mendengar seruan (adzan) tetapi tidak datang (untuk
shalat), maka tidak ada shalat baginya kecuali ada udzur (alasan kuat).”
(Subulus Salam)
B. Tempat
berdiri (posisi) mak’mum
1. Dari
Ibnu ‘Abbas r.a., ia berkata : “Saya
pernah shalat bersama Rasulullah saw. pada suatu malam, lalu saya berdiri di
sebelah kirinya, maka Rasulullah saw. memegang kepalaku dari belakang, kemudian
beliau menempatkanku di sebelah kanannya.” (Hadits Riwayat Bukhari –
Muslim)
2. Menurut
cara atau pendapat sebagian pengikut Asy-Syafi’i, bahwa ma’mum dianjurkan agar
berdiri tidak jauh di belakang imam. Hanya saja Ibnu Juraij telah meriwayatkan,
ia berkata : “Aku bertanya kepada ‘Atha’
: ‘Seorang laki-laki shalat bersama seorang laki-laki lain, dimana ia mesti
berdiri?’ Ia (‘Atha’) menjawab : ‘Disampingnya’. Aku bertanya lagi : ‘Apakah ia
sejajar dengan imam, sehingga satu shaff bersamanya ataukah mundur salah
satunya?’ Ia (‘Atha’) menjawab : ‘Ya, jangan jauh-jauh dan mesti rapat dengan
imam’.” (Subulus Salam II : 31)
Sebagian
pengikut Imam Syafi’i menganjurkan kepada ma’mum agar berdiri di belakang imam
sedikit, tetapi sepengetahuan kami (Asy-Syaukani), hal itu tidak ada dalilnya.
(Nailul Authar III : 161)
Dalam
Al-Muwaththa’ dari Abdillah bin Mas’ud, ia berkata : “Aku masuk rumah ‘Umar bin Khaththab waktu zuhur, kemudian aku
mendapatkan ‘Umar sedang shalat, lalu aku berdiri di belakangnya, kemudian ia
merapatkanku hingga posisiku sejajar dengan beliau, yaitu berada di sebelah
kanannya.” (Nailul Authar III : 161)
3. Menurut
cara atau pendapat Imam Syafi’i, apabila seorang laki-laki mengimami seorang
laki-laki lain, maka hendaklah dengan cara imam menempatkan ma’mum di sebelah
kanannya. Apabila mengimami seorang waria atau perempuan, maka hendaklah dengan
cara keduanya ditempatkan (posisi/berdiri) di belakang imam, tidak sejajar.
(Al-Umm I : 149)
4. Menurut
sunnah (Nabi), hendaklah seorang laki-laki (ma’mum) berdiri di sebelah kanan (sejajar),
berdasarkan hadits riwayat Ibnu ‘Abbas (Al-Muhadzab I : 99)
5. Dari
Anas r.a., bahwa Rasulullah saw. telah mengimaminya dan seorang perempuan
diantara mereka. Kemudian Nabi menermpatkan (Anas) di sebelah kanannya dan
menempatkan perempuan di belakangnya (Hadits Riwayat Abu Dawud, Ainu Al-Ma’bud
II : 318)
6. Dari
Anas r.a., ia berkata : “Rasulullah saw.
pernah shalat, kemudian aku dan anak yatim berdiri di belakangnya, sedangkan
Ummu Sulaim di belakang kami.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
Keterangan
:
Berdasarkan hadits-hadits tersebut di atas, maka posisi
ma’mum itu adalah sebagai berikut :
Jika ma’mum itu
laki-laki hanya berdua dengan imam (laki-laki), tempat atau posisi ma’mum itu
hendaklah berada di sebelah kanan imam dengan cara sejajar dan merapat (tidak
mundur di belakang imam). Demikian pula posisi ma’mum perempuan jika hanya
berdua dengan imam perempuan.
Jika ma’mum itu seorang perempuan, sedangkan imamnya
laki-laki, posisi ma’mum hendaklah berada di belakang imam (sekalipun suami-isteri).
Jika ma’mum terdiri dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, maka dilakukan dengan cara ma’mum laki-laki berdiri sejajar dengan
imam (di sebelah kanan), sedangkan ma’mum perempuan berada di belakangnya.
Jika ma’mumnya terdiri dari 2 orang laki-laki dan seorang
perempuan, maka dilakukan dengan cara ma’mum laki-laki berdiri di belakang
imam, sedangkan ma’mum perempuan berada di belakang ma’mum laki-laki dan
demikian seterusnya.
7. Dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi saw., beliau
bersabda : “Hendaklah mengikuti aku
(dalam shaf shalat) mereka yang diwasa dan yang berakal, kemudian orang yang
mengikuti mereka (kedudukannya) dan awas kamu ribut seperti ributnya suara di
pasar.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Muslim, Nailul Authar III : 205)
8. Dari ‘Abdurrahman bin Ghanam, ia berkata :
Abu Malik Al-Asy’ari telah berkata : “Tidaklah
mesti aku ceritakan kepadamu cara shalat Nabi saw?” Selanjutnya ia berkata
: “Kemudian Nabi memerintahkan iqamah,
lalu beliau menempatkan shaf laki-laki dewasa, kemudian anak-anak di belakang
shaf mereka, setelah itu barulah Nabi shalat bersama mereka.” (Hadits
Riwayat Abu Dawud)
9. Adi Abi Hurairah, ia berkata : Rasulullah
saw. telah bersabda : “Sebaik-baiknya shaf laki-laki adalah shaf di depan dan
sejelek-jeleknya ialah shaf yang belakang. Dan sebaik-baiknya shaf perempuan
adalah shaf yang belakang serta sejelek-jeleknya shaf perempuan adalah shaf
yang depan.” (Hadits Riwayat Al-Jama’ah, kecuali Al-Bukhari; Nailul Authar III
: 208)
10. Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah saw.
telah bersabda : “Jadikanlah imam di
tengah-tengah kamu dan tutuplah (isilah) tempat yang kosong.” (Hadits
Riwayat Abu Dawud)
Keterangan :
Berdasarankan cara hadits ini, berarti posisi imam itu
senantiasa berada di tengah-tengah ma’mum dari mulai jumlah ma’mum dua orang
sampai seterusnya, jadi tidak dengan cara mendahulukan atau memenuhi sebelah
kanan imam dahulu, sedangkan sebelah kiri imam kosong/tidak diisi.
C.
Cara-cara ma’mum mengikuti imam
1. Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata :
Rasulullah saw. telah bersabda : “Sesungguhnya
diangkat imam itu ialah agar disempurnakan dengannya. Apabila imam bertakbir,
bertakbirlah kamu, tetapi janganlah kamu bertakbir sebelum imam selesai
bertakbir. Apabila imam ruku’, hendaklah kamu ruku’. Apabila imam mengucapkan
‘sami’allahu li man hamidah’, ucapkan ‘allahumma rabbanaa lakal hamdu’. Apabila
imam sujud, hendaklah kamu sujud dan jangan dulu sujud sebelum imam sujud.
Apabila imam shalat berdiri, hendaklah kamu shalat sambil berdiri dan apabila
imam shalat sambil duduk, hendaklah kamu semua shalat sambil duduk.”
(Hadits Riwayat Abu Dawud I : 142)
Berdasarkan cara hadits ini, ma’mum tidak
boleh melebihi yaitu mendahului imam atau tertinggal atau menyertai imam, tetapi
senantiasa ma’mum mengikuti imam.
2. Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata :
Rasulullah saw. telah bersabda : “Tidakkah
takut salah seorang diantara kamu jika mengangkat kepalanya sebelum imam, Allah
akan mengganti kepalanya dengan kepala himar atau Allah mengganti rupanya
dengan rupa (wajah) himar?” (Hadits Riwayat Al-Jama’ah)
3. Dari Anas r.a., ia berkata : “Rasulullah saw telah bersabda : ‘Wahai
manusia, sesungguhnya aku adalah imam kamu. Janganlah kamu mendahuluiku pada
waktu ruku’ dan sujud, berdiri, duduk dan dalam bersalam.” (Hadits Riwayat
Ahmad dan Muslim)
D. Imam
dan ma’mum mengucapkan aamiin bersama-sama
1. Dari Abi Hurairah r.a., bahwasanya Nabi saw.
bersabda : “Apabila imam mengucapkan aamiin, hendaklah kamu mengucapkan juga
aamiin, karena sesungguhnya siapa yang mengucapkan aamiin – bersama dengan
ucapan aamiin malaikat – niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.” (Hadits
Riwayat Al-Bukhari, Fathu Al-Bari II : 262)
Jumhur ulama menjelaskan … bahwa yang
dimaksud dengan kalimat “idzaa ammana” (apabila imam membaca aamiin) ialah
apabila imam hendak membaca aamiin, agar bersama-sama aamiin imam dengan aamiin
ma’mum. (Fathu Al-Bari II : 262)
2. Dari Abi Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw.
bersabda : “Apabila imam membaca ‘ghairil
maghdhuubi‘alaihim wa ladh dhaalliin’, ucapkanlah ‘aamiin’, karena siapa yang
bersesuaian ucapan aamiinnya dengan ucapan aamiin malaikat, niscaya diampuni
dosa-dosanya.” (Hadits Riwayat Malik dalam Al-Mughni I : 564)
3. Menurut An-Nawawi rahimahullaah, hadits-hadits
di atas menunjukkan disunnahkannya aamiin setelah Al-Fatihah, baik imam, ma’mum
atau yang shalat munfarid (sendirian). Seyogyanya aamiin ma’mum itu
bersamaandengan aamiin imam, jangan sebelumnya atau sesudahnya, mengingat sabda
Nabi saw. : “Apabila imam membaca ‘wa
ladh dhaalliin’, ucapkan aamiin”. Adapun riwayat “idzaa ammana fa amminuu”
maksudnya ialah apabila imam hendak aamiin. (Fathu Ar-Rabbani III : 205)
4. Dari Abi Hurairah, ia berkata : “Adalah Rasulullah saw. bila membaca
‘ghairil maghdhuubi ‘alaihim wa ladh dhaalliin’, beliau mengucapkan aamiin
sehingga orang yang dekat dengan Nabi, yang ada di shaf pertama dapat
mendengarnya.” (Hadits Riwayat Abu Dawud)
E. Yang paling
berhak menjadi imam
1. Dari Abi Sa’id, ia berkata : “Rasulullah saw. bersabda ‘Apabila mereka
bertiga, hendaklah salah seorang menjadi imam dan yang paling berhak menjadi
imam adalah orang yang paling menguasai Al-Qur’an.” (Hadits Riwayat Ahmad
dan Muslim)
2. Dari Abu Mas’ud Al-Anshari, ia berkata :
“Rasulullah saw. telah bersabda : ‘Hendaklah mengimami suatu kaum, orang yang
paling menguasai Al-Qur’an. Apabila mereka sama dalam penguasaan Al-Qur’an,
hendaklah orang yang paling mengetahui
Nabi. Apabila mereka juga sama dalam penguasaan haditsnya, pilih yang
lebih dahulu hijrahnya. Apabila mereka bersama-sama hijrahnya, pilih yang lebih
dahulu masuk islamnya dan janganlah sekali-kali seseorang mengimami seseorang
di tempat kekuasaannya (ditempat menetapnya, domisilinya) dan janganlah
seseorang duduk di rumah yang lain (orang lain) di atas hamparan (tikar) khusus
pribumi kecuali atas izinnya.” (Hadits Riwayat Muslim)
F. Perempuan
menjadi imam
1. Dari Ummu Waraqah r.a., bahwa Nabi saw. telah
memerintah kepadanya (Ummu Waraqah) mengimami penghuni rumahnya (Ummu Waraqah).
(Hadits Riwayat Abu Dawud)
2. Adalah ‘Aisyah r.a. pernah mengimami perempuan
dan ia berdiri bersama mereka dalam satu shaf. (Fiqhus Sunnah I : 113)
Keterangan :
Mengenai cara atau posisi imam perempuan, ada yang
berpendapat imam perempuan mesti berada di tengah-tengah ma’mum, sejajar dengan
mereka. Sementara ada yang berpendapat bahwa imam perempuan sama saja dengan
imam laki-laki berdiri di depan ma’mum. Menurut pendapat Almarhum Al-Ustadz
K.H.E. ‘Abdurrahman, sebagai berikut :
Dimana imam mesti
berdiri?
Imam laki-laki atau perempuan mempunyai ketentuan yang
sama, yaitu berdiri di depan ma’mum, kecuali bila ma’mumnya hanya satu orang,
maka ma’mum berdiri di sebelah kanan imam, sejajar.
Adapun arti kata “shaf” ialah garis. Misalkan imam
berkata : “Bereskan shaf kamu sekalian!” maksudnya adalah rapikan
garis/barisannya. Jadi, apabila ada keterangan imam berdiri di tengah-tengah
mereka dalam shaf, tidak berarti imam sejajar, tetapi garis tempat imam berdiri
itu di tengah. Tidak ada yang mengartikan bahwa imam perempuan mesti sejajar
dengan ma’mum sekalipin ma’mumnya banyak.
Imam selalu harus berdiri bukan di sebelah kiri atau
kanan, melainkan di tengah-tengah garis. Jadi, bila ma’mum ada enam orang, imam
berdiri di depan mereka, di kanan belakang imam tiga orang, di sebelah kiri
belakang imam juga tiga orang ma’mum.
Ibnu Hazmin dalam Al-Muhala 4 : 220 berkata, sehubungan
dengan kata-kata fish shiffi (dalam garis) : “Saya sama sekali tidak mengetahui (mendapatkan) hujjah untuk melarang
perempuan berdiri di depan dan hukumnya pada pandangan saya dia berdiri di
depan ma’mum perempuan.”
Dalam Subulus Salam
diterangkan :
“Apabila perempuan
shalat dan imamnya perempuan, shaf mereka seperti shaf laki-laki, yaitu
shaf-shaf yang paling utama adalah shaf yang pertama.”
Tidak ada yang mengartikan kata-kata “dalam shaf” itu,
imam sejajar dengan ma’mum secara mutlak. Imam Syafi’i menyuruh supaya imam
perempuan sejajar dengan shaf yang pertama, tetapi Imam Syafi’i sendiri
menerangkan dalam Al-Um I : 145 : “Apabila
seorang perempuan (imam) berdiri di depan perempuan-perempuan (ma’mum),
shalatnya imam dan dibelakangnya sah (memadai).”
Perkataan Imam Syafi’i ini suatu dalil tentang tidak
adanya hujjah yang shahih, menthaksis imam perempuan mesti sejajar di
tengah-tengah shaf yang pertama.
Dalam hadits riwayat Abu Dawud, Rasulullah saw.
memerintahkan dengan mutlak “washithu imama”, artinya “Tempatkanlah imam di
tengah-tengah”. Perintah tersebut tidak berarti bahwa imam laki-laki atau
perempuan berdiri di tengah-tengah sejajar dengan ma’mum, tetapi “muqabbilun li
washathis shaffi”, artinya searah dengan tengah-tengah shaf para ma’mum.
(Bustanul Ahbar I : 254 – Risalah Wanita halaman 78-81)
G. Perempuan turut ibadah shalat berjama’ah di
masjid
1. Dari Ibnu ‘Umar r.a., dari Nabi saw., beliau
bersabda : “Jika isteri-isteri kalian
meminta izin kalian untuk pergi ke masjid pada malam hari, izinkanlah mereka.”
(Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)
Dalam riwayat lain : “Jangan kalian larang isteri-isteri kalian untuk pergi ke masjid,
tetapi (memang) shalat di rumah adalah lebih utama bagi mereka (perempuan).” (Hadits
Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)
2. Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw. telah
bersabda : “Jangan kalian halang-halangi
hamba Allah (perempuan) untuk datang ke masjid, melainkan hendaklah mereka
keluar dengan pakaian sederhana.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)
H. Anak kecil
menjadi imam
Dari ‘Amr bin Salamah r.a., ia berkata :
Ayahku telah berkata : “Aku datang
kepadamu betul-betul dari sisi Nabi saw. Nabi saw. bersabda : ‘Apabila datang
waktu shalat, hendaklah salah seorang diantaramu adzan dan hendaklah menjadi
imam orang yang paling banyak hafal Al-Qur’annya’, dan ia berkata : ‘lalu
mereka melihat dan ternyata tidak ada seorang pun yang paling banyak hafal
Al-Qur’an daripadaku, kemudian mereka mempersilahkanku untuk menjadi imam.
Sedangkan pada waktu itu aku baru berumur enam atau tujuh tahun’.” (Hadits
Riwayat Al-Bukhari, Subulus Salam II : 27)
I. Orang buta menjadi imam
Dari Anas r.a., sesungguhnya Nabi saw.
mengangkat Ibnu Umi Maktum untuk mengimami orang-orang, padahal dai seorang
yang buta. (Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)
J. Laki-laki mengimami perempuan
Abu Ya’la dan At-Thabrani dalam Al-Ausath
telah meriwayatkan dengan sanad yang hasan, bahwa Ubay bin Ka’ab telah datang
kepada Nabi saw., lalu bertanya : “Ya
Rasulullah, tadi malam saya mengerjakan sesuatu.” Rasul bertanya : “Apa yang
telah kamu kerjakan itu?” Ia menjawab : “Perempuan-perempuan di rumah
(bersamaku), mereka berkata : ‘Sesungguhnya kamu dapat membaca Al-Qur’an,
sedang kami tidak dapat membaca, maka shalatlah bersama kami.’ Aku pun shalat
delapan raka’at ditambah witir, maka Nabi saw. diam (tidak menjawab).” Ia
berkata : “Kami mengira/menduga bahwa diamnya Nabi berarti setuju”. (Fiqhus As-Sunnah II : 112)
K. Imam yang
dibenci kaumnya
Dari Ibnu ‘Abbas, dari Rasulullah saw.,
bahwa beliau bersabda : “Tiga orang yang
tidak akan diangkat (diterima) shalatnya di atas kepalanya, walau sejengkal,
ialah laki-laki yang mengimami suatu kaum padahal mereka membencinya dan
seorang perempuan yang tidur dalam keadaan suaminya marah kepada isterinya
serta dua orang bersaudara yang saling bermusuhan.” (Hadits Riwayat Ibnu
Majah, menurut Al-‘Iraqi sanadnya hasan, Fiqh As-Sunnah)
L. Imam meringankan
shalatnya
1. Dari Abi Hurairah r.a., bahwasanya Nabi saw.
bersabda : “Apabila salah seorang di
antara kamu mengimami shalat, ringkaskanlah, karena di antara mereka ada yang
lemah, sakit dan tua. Akan tetapi, jika shalat sendiri (munfarid),
panjangkanlah (bacaannya) sekehendaknya.” (Hadits Riwayat Al-Jama’ah,
kecuali Ibnu Majah)
2. Dari Anas, dari Nabi saw., beliau bersabda : “Sesungguhnya aku shalat, sedang aku bermaksud
memanjangkan bacaan, lalu aku mendengar tangisan seorang anak, kamudian aku
mempersingkat shalatku, karena aku tahu akan mengganggu ibunya tersebab
tangisannya itu.” (Hadits Riwayat Al-Jama’ah, kecuali Abu Dawud,
Nailul-Authar III : 154)
M. Tasbih dan tepuk tangan
Dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi, dari Nabi saw., beliau
bersabda : “Siapa yang terganggu
(terlupa) sesuatu dalam shalatnya, maka bacalah ‘subhaanallaah’, sesungguhnya
tepuk tangan (cara memberi tahu) untuk perempuan dan tasbih (subhanallaah) untuk
laki-laki.” (Hadits Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i; Fiqhus As-Sunnah II :
162)
N. Cara mengingatkan imam (yang lupa bacaan)
Dari Ibnu ‘Umar, sesungguhnya Nabi saw.
pernah shalat, lalu beliau membaca Al-Qur’an, tetapi beliau keliru. Tatkala
selesai shalat beliau bersabda kepada ayahku : “Apakah engkau turut shalat bersamaku?” Ia menjawab : “Ya”. Lalu Nabi
bersabda : “Mengapa kamu tidak mengingatkanku?” (Hadits Riwayat Abu Dawud
dan lain-lain serta rawinya orang-orang terpercaya; Fiqhu Al-Sunnah II : 163)
O.
Merapatkan/meluruskan shaf
1. Dari Anas, bahwa Nabi saw. bersabda : “Rapatkanlah barisanmu, karena merapatkan
barisan juga termasuk kesempurnaan shalat.” (Hadits Riwayat Bukhari –
Muslim; Nailul Authar III : 213)
2. Dari Anas, ia berkata : “AdalahRasulullah saw. suka menghadap terlebih dahulu kepada kami
(wajahnya) sebelum ia bertakbir, seraya mengatakan : ‘Rapatkanlah dan
luruskanlah shafnya’.” (Hadits Riwayat Bukhari – Muslim)
3. Dari Abi Mas’ud, ia berkata : “Adalah Rasulullah saw. suka menepuk pundak
kami pada waktu (sebelum) shalat dengan mengatakan : ‘Rapatkanlah atau
luruskanlah dan janganlah berselisih (tidak seragam), akibatnya akan berselisih
pula hati kamu. Hendaklah mengikuti dalam shaf mereka yang dewasa dan yang
berakal (berilmu), kemudian yang berdekatan dengan mereka kedudukannya.”
(Hadits Riwayat Muslim)
P. Adanya
penghalang/pembatas antara imam dan ma’mum
Dari ‘Aisyah, ia berkata : “Kami mempunyai hamparan/tikar yang biasa
kami bentangkan pada waktu siang dan kami jadikan dinding pada waktu malam,
lalu Rasulullah saw. shalat di atasnya pada suatu malam, sedang orang-orang
mendengar bacaannya, lalu mereka shalat mengikuti shalat Nabi. Pada malam kedua
orang bertambah banyak, kemudian Nabi melihat mereka seraya berkata : ‘Lakukanlah
pekerjaan itu dalam batas kemampuan kamu, karena Allah tidak akan merasa bosan
atau jenuh’.” (Hadits Riwayat Ahmad; Nailul Authar III : 321)
Q. Tempat imam lebih tinggi dari pada ma’mum atau
sebaliknya
1. Dari Hammam, bahwa Hudzalifah pernah mengimami
orang-orang di Madain di atas sebuah toko, kemudian Abu Mas’ud memegang
bajunya, lalu menariknya ketika selesai shalatnya. Ia menyatakan : “Tidakkah kau tahu bahwa mereka dilarang
berbuat itu?” Hudzalifah menjawab : “Ya, aku sadar ketika engkau menariknya.”
(Hadits Riwayat Abu Dawud)
2. Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : “Rasulullah saw.
telah melarang imam berdiri di tempat yang tinggi, sedangkan orang-orang
(ma’mum) berada di bawahnya.” (Hadits Riwayat Ad-Daraquthuni, Fiqhu As-Sunnah I
: 202)
Keterangan
:
Berdasarkan hadits tersebut, imam tidak boleh
berada di tempat yang lebih tinggi dari pada ma’mum. Adapun tempat ma’mum lebih
tinggi daripada imam, maka tidak apa-apa mengingat ada hadits riwayat Sa’id bin
Mashur, Asy-Syafi’i dan Al-Baihaqi, dari Abu Hurairah, bahwa dia pernah shalat
di lantai atas masjid mengikuti shalatnya imam (berjama’ah). Lihat Fiqhu
As-Sunnah I : 240)
R. Muqimin
berma’mum kepada musafir
1. Dari ‘Imran bin Hushain, ia berkata : “Tidaklah Rasulullah saw. bepergian, kecuali
shalat dua raka’at sampai beliau kembali dan beliau pernah tinggal di Makkah
waktu Fathul Makkah selama 18 malam, beliau shalat dua raka’at-dua raka’at
terkecuali maghrib, kemudian beliau menyatakan : ‘Wahai penduduk Makkah,
shalatlah dua raka’at lagi. Sesungguhnya kami kaum yang berada di perjalanan’.”
(Hadits Riwayat Ahmad)
2. Dari ‘Umar, bahwasanya ketika tiba di Makkah,
ia shalat dengan mereka (penduduk Makkah) dua raka’at, kemudian (‘Umar) berkata
: “Wahai penduduk Makkah, sempurnakan
shalat kalian, karena kami kaum sedang dalam perjalanan.”
Menurut riwayat dari Thalq bin ‘Ali : “Tidak sah shalat sendirian di belakang
shaf.”
3. At-Thabrani menambahkan pada hadits Wabishah : “Mengapa engkau tidak masuk bersama mereka
(dalam shaf terdepan) atau menarik seseorang (dari shaf depan untuk
menyertainya)?” (Subulus Salam II : 32)
4. Sesungguhnya riwayat hadits-hadits di atas
saling menguatkan serta tidak saling menjatuhkan. Kesemuanya bersandar/bersanad
pada yang shahih serta rawi-rawinya tsiqat (Sunan Imam Tarmidzi dengan Syarah
Ahmad Muhammad Syakir I : 45)
As-Syafi’i mendhaifkan hadits ini, beliau
menyatakan : “Andai hadits ini shahih,
pasti aku mengatakannya.” Tanggapan itu ditentang Al-Baihaqi – salah
seorang pengikut Asy-Syafi’i – menyatakan hal itu bahwa menurutnya hadits
tersebut kuat. (Nailul Authar III : 211)
S. Ma’mum
memisahkan diri dari imam
Dari Jabir, ia berkata : “Adakah Mu’adz shalat isya berasama Rasulullah saw., kemudian ia pulang
ke kaumnya dan terus mengimami mereka. Pada waktu itu Nabi saw. Mengakhirkan shalatnya,
lalu ia shalat bersama beliau, kemudian ia pulang ke kaumnya, kemudian ia
membaca surat Al-Baqarah, lalu mundurlah seorang laki-laki kemudian shalat
sendirian, maka dikatakan kepadanya ‘kamu munafik, wahai fulan’. Fulan menjawab
: ‘Tidak, saya tidak munafik dan saya akan datang kepada Rasulullah saw. Untuk memberitahukan’.
Ia pun datang kepada Nabi kemudian ia menceritakan kejadian tersebut kepada
Nabi, maka Nabi berkata (kepada Mu’adz) : ‘Apakah engkau mau membuat fitnah,
wahai Mu’adz? Bacalah surat ini!’” (Hadits Riwayat Al-Jama’ah; Fiqhu
As-Sunnah I : 20)
T. Musafir berma’mum
kepada muqimin
Dari Ibnu’ Abbas, bahwa ia pernah ditanya : “Bagaimana keadaan orang yang safar, shalat
dua raka’at apabila sendirian (tidak berjama’ah dengan pribumi) dan empat raka’at
bila berjama’ah dengan orang muqimin/pribumi?” Ibnu’ Abbas menjawab : “Bagaimana
sesungguhnya kami bila shalat bersama kaum pribumi, kami shalat empat raka’at
dan apabila kami pulang (ke penginapan), kami shalat dua raka’at?” Abbas
menjawab : “Itu adalah sunnah Abu Qasim (Nabi).” (Hadits Riwayat Ahmad;
Nailul Authar III : 189)
U. Yang shalat
fardhu berma’mum kepada yang shalat sunnah
1. Dari Jabir, bahwasanya Mu’adz shalat bersama
Nabi saw. shalat ‘Isya’ yang akhir, kemudian ia (Mu’adz) pulang ke kaumnya,
kemudian shalat bersama kaumnya, shalat yang itu juga (shalat ‘Isya’ dua kali).
(Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim; Nailul Authar III : 190)
2. Dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah saw.
melihat seorang laki-laki shalat sendirian, lalu Nabi bersabda : “Mengapa tidak
ada seorang laki-laki yang bersedekah kepadanya, kemudian shalat bersamanya?”
(Hadits Riwayat Abu Dawud; Ainu AL-Ma’bud II : 282)
V. Masalah dua
kali ibadah shalat
1. Dari Jabir bin Yazid bin Aswad, dari ayahnya,
bahwa ia pernah shalat bersama Rasulullah saw. pada saat ia masih muda. Setelah
beliau shalat, lalu Nabi memanggil keduanya, kemudian mereka datang dalam
keadaan gemetar, lalu beliau bertanya : “Apa
yang menyebabkan kalian tidak ikut shalat bersama kami?” Keduanya menjawab
: “Sungguh kami telah sahalt di tempat
kami”. Beliau bersabda : “Jangan kamu
berbuat begitu! Jika seseorang di antara kamu telah melaksanakan shalat di
tempatnya, kemudian ia mendapatkan imam belum shalat, shalatlah bersamanya dan
itu merupakan sunnah baginya.” (Hadits Riwayat Abu Dawud)
2. Boleh ibadah shalat fardhu berma’mum kepada
yang ibadah shalat sunnah, begitu juga yang ibadah shalat fardhu kepada yang ibadah
shalat fardhu yang lain berdasar hadits riwayat Jabir bin ‘Abdillah r.a., yakni
bahwa Mu’adz pernah shalat bersama Rasulullah saw., yaitu ‘Isya’, kemudian ia
pulang ke kaumnya Bani Salamah, kemudian ia shalat lagi (mengimami mereka).
Dalam hal mana baginya (Mu’adz) ibadah shalat itu sunnah dan bagi mereka
merupakan ibadah shalat (wajib) ‘Isya’, ditambah pula berma’mum itu terjadi
dalam perbuatan zhahir (gerakan fisik) dan hal itu dapat – sekalipun berbeda
niat. Adapun bila seseorang melaksanakan ibadah shalat gerhana di belakang
orang shalat shubuh atau shalat shubuh di belakang orang yang shalat gerhana,
maka hal itu tidak boleh. (Al-Muhadzdzab I : 98)
W. Imam yang fasik
dan ahli bid’ah
1. Dari Abi Hurairah r.a., sesungguhnya Rasulullah
saw. telah bersabda : “Mereka (para imam)
shalat untuk kamu (ma’mum). Jika shalat imam benar/cocok, hal itu sempurna bagi
kamu dan bagi mereka dan manakala mereka salah, bagi kamu (ma’mum) tetap sempurna
dan (kesalahan imam) itu tanggung jawab mereka (para imam).” (Hadits Riwayat
Bukhari; Nailul Authar III : 197)
2. Hasan pernah ditanya tentang seseorang yang
shalat di belakang ahli bid’ah, maka Hasan menjawab : “Shalatlah di belakangnya dan perbuatan bid’ahnya itu tanggung
jawabnya.” (Fathu Al-Bari II : 158)
3. Telah berkata ‘Abdu Al-Karim Al-Bakka’ : “Aku pernah mendapatkan sepuluh sahabat
Rasulullah saw. ketika mereka shalat di belakang pemimpin-pemimpin yang dzalim.”
(Hadits Riwayat Bukhari dalam Tarikhnya)
4. Dari Jabir, dari Nabi saw., beliau besabda : “Janganlah seorang perempuan mengimami
laki-laki dan juga seorang Arab gunung mengimami Muhajir dan tidak juga
seseorang yang fajir/durhaka mengimami orang mu’min, kecuali andaikata dia
memaksakan dengan kekuatannya yang pada (mu’min) takut akan pedang atau
cambuknya.” (Hadits Riwayat Ibnu Majah)
Keterangan
:
Dalam sanad hadits huruf W. no. 4 tersebut di
atas ada seseorang bernama ‘Abdullah bin Muhammad Al-Tamimi. Dia lemah
hafalannya dan menurut Bukhari haditsnya munkar. Menurut Ibnu Hibban, tidak
boleh berhujjah dengan hadits itu dan menurut Waki’ dia suka memalsukan hadits.
(Nailul Authar III : 184)
X. Shalat
sendirian dan di belakang shaf
1. Dari ‘Ali bin Syaiban, bahwa Rasulullah saw.
melihat seorang laki-laki shalat sendirian di belakang shaf, kemudian Nabi
berdiri sampai laki-laki itu selesai shalatnya, lalu Nabi mengatakan kepadanya
: “Ulangi shalatmu, karena tidak sah
shalat sendirian di belakang shaf itu.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu
Majah; Nailul Authar III : 209)
2. Dari Wabishah bin
Ma’bad Al-Juhani r.a., bahwasanya Rasulullah saw. melihat seorang laki-laki
shalat sendirian di belakang shaf, lalu beliau memerintahkan kepadanya agar
mengulangi shalatnya. (Hadits Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi, serta
menghasankan hadits itu dan menshahihkannya Ibnu Hibban)
3. Dan menurut riwayat (pula), dari Thalq abin ‘Ali
: “Tidak sah shalat sendirian di belakang
shaf”. At-Thabrani menambahkan pada hadits Wabishah : “Mengapa engkau tidak masuk berasama mereka (dalam shaf terdepan) atau
menarik seseorang (dari shaf depan untuk menyertainya)?”
4. Pendapat yang kuat dan benar
Sesungguhnya riwayat hadits-hadits di atas
saling menguatkan serta tidak saling menjatuhkan. Kesemuanya bersandar/bersanad
pada yang shahih serta rawi-rawinya tsiqat. (Sunan Imam Tirmidzi dengan syarah
Ahmad Muhammad Syakir I : 45)
Syafi’i mendhaifkan hadits ini dan beliau
menyatakan : “Andai hadits ini shahih,
pasti aku mengatakannya.” Tanggapan itu ditentang Al-Baihaqi – salah seorang
pengikut Syafi’i – menyatakan hal itu bahwa menurutnya hadits tersebut kuat.
(Nailul Authar III : 211)
5. Menurut Al-Zaila’i dalam Nashbi Ar-Rayah (I :
244), hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya dengan dua
sanad tersebut di atas, kemudian menyatakan : “Hilal bin Yasaf mendengarnya dari ‘Umar bin Rasyid dan dari Ziyad bin
Abi Al-Ja’di, dari Wabishah bin Ma’bad.” Jadi keuda hadits tersebut kuat.
6. Menurut kebanyakan ashhab Syafi’i (pengikut
Syafi’i), seyogyanya seorang menarik seseorang lain untuk menyertainya dan
orang yang ditarik itu hendaknya membantunya. Dalam hal ini tidak ada
perbedaan, baik yang datang di tengah-tengah shalat maupun yang datang di
permulaan shalat.” (Tuhfat Al-Ahwadzi II : 25)
Y. Imam menghadap
ma’mum setelah shalat
1. Dari Samurah, ia berkata : “Adalah Nabi saw. jika (selesai) shalat, beliau suka menghadap kepada
kami.” (Hadits Riwayat Bukhari)
2. Dari Barra’ bin Azib, ia berkata : “Apabila kami shalat di belakang Rasulullah,
kami suka berada di sebelah kanannya, lalu beliau menghadap kepada kami
(setelah shalat).” (Hadits Riwayat Muslim dan Abu Dawud I : 144)
Keterangan :
Hadits no. 1 menunjukkan cara Rasulullah
saw. setelah selesai melaksanakan ibadah
shalatnya menghadap langsung ke arah ma’mum.
Hadits no. 2 menunjukkan cara Rasulullah
saw. menghadap ke arah kanan ma’mum. Oleh karenanya, imam boleh langsung
menghadap ma’mum atau ke sebelah kanannya.
Z. Pendapat para ulama
tentang masbuq
Tentang hal ini ada
dua pendapat :
1. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ma’mum
yang mendapatkan imam sedang ruku’, maka ia berarti mendapat satu raka’at,
berdasarkan hadits-hadits :
1.1. Siapa yang mendapatkan ruku’, berarti ia
mendapat satu raka’at. (Hadits Riwayat Abu Dawud; Fiqh Sulaiman Rasyid : 116)
1.2. Dari Abi Hurairah r.a., ia berkata : “Rasulullah
saw. telah bersabda : ‘Apabila kamu sedang untuk shalat, padahal kami sedang
sujud, maka sujudklah dan jangan kamu hitung sesuatu (satu raka’at) dan siapa
yang mendapatkan ruku’ berarti ia mendapat satu ruku’ (raka’at) dalam
shalatnya.” (Hadits Riwayat Abu Dawud I : 207)
Menurut Jumhur “Yang dimaksud ruku’ – di sini – adalah raka’at. Jadi, siapa yang
mendapatkan imam sedang ruku’ berarti ia mendapat (satu) raka’at.” (Al-Mu’in
AL-Mubin I : 93)
1.3. Juga telah diriwayatkan secara marfu’ dari
Abi Hurairah : “Siapa yang mendapatkan
ruku’ dari shalat sebelum imam menegakkan tulang rusuknya, berarti ia mendapat
satu raka’at”. Dan telah dijadikan sebuah judul dari hadits tersebut. Bab
yang menerangkan ketika – dalam hal mana – ma’mum mendapat satu raka’at manakala
ma’mum (mendapatkan) ruku’ bersama imam. (Subulus Salam II : 36)
Dalam riwayat Ad-Daruquthni yang
dishahihkan oleh Ibnu Hibban (diterangkan) : “Siapa yang mendapatkan ruku’ dari
shalat, sebelum imam menegakkan tulang rusuknya (bangkit dari ruku’), maka ia
berarti mendapat satu raka’at.” (Masail Al-Muhimah : 37)
1.4. Bahwa sesungguhnya Abu Bakrah telah datang
untuk shalat bersama Nabi saw., sedang beliau dalam keadaan ruku’ – sebelum sampai
menuju shaf – hal itu disampaikan kepada Nabi., maka beliau bersabda : “Semoga Allah menambah kesungguhanmu, tetapi
jangan kamu ulangi lagi.” (Hadits Riwayat Bukhari)
Mereka yang
berpendapat bahwa ma’mum ketinggalan Al-Fatihah berarti tidak mendapatkan raka’at.
Jawaban atas pendapat/alasan golongan ini :
Pada hadits yang lain
terdapat rawi yang bernama Yahya bin Abi Sulaiman Al-Mahdani. Menurut ‘Amir
Al-Mukminin di dalam hadits ialah : Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari dalam Kitab
Juz-u Al-Qira’at, Yahya- yang ini – munkaru al-hadits. (Mizanu Al-I’tidal IV :
383; ‘Ainu Al-Ma’bud III : 147)
Maksud ucapan
Al-Bukhari “munkari al-hadits” :
Menurut (pernyataan
Al-Bukhari : “Setiap orang yang kami
nyatakan munkaru al-hadits berarti tidak dapat dijadikan hujjah.” – bahkan –
dalam satu riwayat (dinyatakan) : “…
tidaklah boleh meriwayatkan darinya.” (Fathu Al-Mughits I : 346)
Menurut yang lain,
hadits tersebut telah diriwayatkan sendirian oleh Yahya bin Sulaiman, sedang
dia itu tidak kuat hafalannya. (‘Aun Al-Ma’bud III : 147)
Hadits tersebut bukan
dalil atas pendapat mereka, karena Anda pasti tahu bahwa yang disebut raka’at
itu mencakup semua aspek bacaan, rukun-rukunnya secara hakiki, syara’, maupun ‘urf
(kebiasaan). Kedua arti tersebut harus lebih didahulukan daripada arti menurut
bahasa. Demikian ketetapan para ahli suhul (fiqh). (Nailul Authar II : 245)
Di sini tidak
terdapat qarinah/alasan apapun yang memalingkan arti hakiki raka’at (kepada
arti lain yakni ruku’), maka hadits termaksud bukan dalil bahwa yang
mendapatkan imam dalam keadaan ruku’ berarti mendapat satu raka’at (‘Aun Al-Ma’bud
III : 148)
Tertulis dalam catatan kami Al-Mughni
atas Sunan Ad-Daruquthni : “Di dalam
hadits termkasud ada seseorang rawi bernama Yahya bin Humaid. Menurut
Al-Bukhari, tidak terdapat mutabi’ (jalan lain yang dapat menguatkan) haditsnya
dan juga telah dinyatakan dhaif oleh Ad-Daruquthni.” (‘Aun Al-Ma’bud III :
148)
Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla telah
menjawab/membahas mengenai hadits Abi Bakrah – menurutnya – bahwa hadits
tersebut tidak bisa dijadikan hujjah/alasan oleh mereka dalam hal termaksud,
karena pada hadits tersebut tidak dinyatakan cukup (terhitung) raka’at. (‘Aun
Ma’bud III : 141)
Menurut Al-Syaukani : “Dalam hadits tersebut tidak ada dalil/bukan
dalil yang menguatkan pendapat mereka, karena sebagaimana dimaklumi tidak ada
perintah untuk mengulangi (raka’at), tapi juga tidak menyatakan terhitung raka’at.
Adapun Nabi mendo’akan kepadanya agar lebih bersungguh-sungguh itu tidak
berarti terhitung raka’at.” (Nailul Authar II : 246)
2. Dalil-dalil yang menyatakan hanya mendapatkan
ruku’ bersama imam tidaklah terhitung raka’at :
2.1. Dari Abi Hurairah r.a., bahasanya ia berkata
: “Jika engaku mendapatkan suatu kaum sedang ruku’, tidak terhitung raka’at.”
(Hadits Riwayat Bukhari, ‘Aun Al-Ma’bud III : 146)
2.2. Dari Qatadah, bahwanya Nabi saw. suka membaca
Fatihah kitab pada setiap raka’at. (Hadits Riwayat Tirmidzi)
2.3. Dari Abi Hurairah, dari Nabi saw., beliau
bersabda : “Apabila kamu mendengar
iqamat, pergilah untuk shalat dan kamu mesti tenang, santai serta tidak
tergesa-gesa. Apa yang kamu dapati (bersama imam), shalatlah dan apa yang
ketinggalan (dari imam), maka sempurnakanlah.” (Hadits Riwayat Al-Jama’ah)
2.4. Menurut Imam Al-Hafizh dalam Kitab Fathu
Al-Bari : “Hadits itu dapat dijadikan dalil/alasan bahwa orang yang mendapatkan
imam sedang ruku’ tidak dihitung raka’at, karena ada perintah untuk
menyempurnakan apa-apa yang ketinggalan, sedangkan – dalam hal ini – jelas ma’mum
ketinggalan (tidak ikut) berdiri dan membaca Fatihah. (Fatihu Al-Bari II : 99)
2.5. Dengan ini jelaslah kelemahan alasan-alasan
pendapat jumhur yang menyatakan bahwa siapa yang mendapatkan imam dalam keadaan
ruku’, termasuk raka’at bersama imam dan bisa dihitung satu raka’at sekalipun
tidak mendapat bacaan Fatihah sedikitpun. (‘Aun Al-Ma’bud III : 147)
2.6. Inilah Muhammad bin ‘Isma’il Al-Bukhari,
salah seorang mujtahid serta figur/tokoh agama. Beliau berpendapat bahwa yang
mendapatkan ruku’ (bersama-sama dengan imam) tidak dihitung mendapatkan raka’at
sampai ia membaca Fatihah kitab (dengan sempurna). Barangsiapa yang masuk
(shalat) bersama imam pada saat ruku’, maka ia mesti mengulangi lagi raka’at
itu (yang tidak sempat membaca Fatihah) setelah imam salam. (‘Aun Al-Ma-bud III
: 152)
Sumber : Habib Hassan bin Ahmad Al-Mahdaly
(Radio Dakta 107.0 FM)
0 komentar:
Posting Komentar
Situs ini menerapkan “Dofollow Site Comment System”
Beri komentar sebanyak-banyaknya yang tentunya akan membawa manfaat pula bagi perkembangan blog/situs Anda. Namun komentar Anda harus dengan syarat :
1. Tidak mengandung Spam, SARA, Pornografi;
2. Komentar harus ada kaitannya dengan materi yang dibahas
dalam posting;
3. Tidak berisi link aktif di dalam badan komentar.
Selamat berkomentar dan semoga bermanfaat bagi perkembangan blog/situs Anda.
Terima kasih.