Yang
dimaksud dengan bersuci (thaharah) adalah menghilangkan hadats dan kotoran.
Adapun cara bersuci dari hadats adalah dengan wudhu atau mandi atau dengan
pengganti dari keduanya, yaitu tayammum. Adapun bersuci dari kotoran adalah menghilangkan
najis yang ada pada pakaian, tempat, badan dan lain-lain. Bersuci itu merupakan
bagian dari iman dan keududukannya setengah dari keseluruhan iman. Hal ini
berdasarkan hadits sebagai berikut :
Dari
Abi Malik Al-Anshari, bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Bersuci adalah sebagian dari iman.” HR. Muslim.
Pada
riwayat Ahmad disebutkan : “Kebersihan
adalah sebagian dari iman.”
Kedua
riwayat tersebut maksudnya sama. Bersuci berarti bersih (nadlafah), suci
(nazahah) dan terbebas (khulus) dari kotoran (danas) seperti tersebut dalam
Al-Qur’an :
“Sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.” (QS. Al-A’raf (7) :
28)
“Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang taubat dan orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah (2)
: 222)
Allah
swt. berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
dengan siku dan sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah : 6)
Dari
Abu Hurairah r.a., ia menyatakan : Rasulullah saw. bersabda :
“Tidaklah diterima shalat seseorang
dari kamu jika berhadats sehingga ia berwudhu.” (Muttafaq ‘alaih,
Fathul Bary I : 206, Muslim : 225)
Dari
Ibnu ‘Umar, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda :
“Allah
tidak akan menerima shalat tanpa bersuci dan tidak pula sedekah karena terpaksa
(benci).” (HR. Muslim I : 160 dan lainnya)
Dari
Ibnu ‘Abbas, ia menyatakan : Rasulullah saw. bersabda :
“Sesungguhnya aku diperintah untuk
berwudhu jika aku hendak shalat.” (Hadits shahih riwayat Abu Dawud : 3760 dan
Tirmidzi di dalam Al-Ath’amah : 1848 dan ia (Tirmidzi) berkata hasan shahih dan
dikeluarkan Nasa’i I : 73 dan Syaikh Al-Albani menshahihkannya di dalam shahih
Al-Jami’ : 2333)
Dari
Abu Said r.a., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda :
“Kuncinya shalat adalah suci dan
haramnya adalah takbir (takbiratul ihram) serta halalnya adalah salam.” (HR. Abu Dawud : 60,
Tirmidzi : 3, Ibnu Majah : 275 dan yang lainnya dan Syaikh AL-Albani
menshahihkannya di dalam Shahih Al-Jami’ : 5761)
Mendahulukan anggota wudhu bagian kanan.
Aisyah r.a. berkata : “Ternyata Rasulullah saw. suka mendahulukan bagian kanan selama beliau
mampu dalam bersuci, memakai sandal,
membersihkan rambut dan dalam semua urusan.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad), dengan lafazh mutaqarabah
1.
CARA BERWUDHU
1.1. Membaca basmallah
“Dengan
menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang.”
Dari Abu Hurairah :
“Tidak
sh shalat bagi orang yang tidak berwudhu dan tidak (sempurna) wudhu bagi orang
yang tidak menyebut nama Allah.” (HR.
Ahmad dari Nailul Authar I : 165, Abu Dawud : 101. Ibnu Majah : 399)
1.2. Mencuci Kedua Tangan sampai Pergelangan
Caranya didahului dengan tangan kanan
sebanyak tiga kali.
Dari Humran, ia melihat ‘Utsman bin ‘Affan
berwudhu :
“Lalu
dituangkannya air kepada kedua belah tangannya dan dibasuhnya tiga kali.” (HR. Bukhari I : 48, Muslim I : 115, 118)
Jika seseorang berwudhu dari wadah
terbuka, sepatutnya dia mencuci tanggannya sebelum memasukkan tangannya ke
dalam wadah air.
Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw.
bersabda : “Apabila salah seorang diantara kamu sekalian bangun tidur,
janganlah menceburkan tangannya ke dalam wadah (itu) sebelum dia mencucunya
tiga kali karena dia tidak tahu dimana tangannya ketika tidur.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
1.3. Berkumur dan Menghirup Air ke Hidung
Selanjutnya berkumur dengan cara menciduk
sebagian air dengan menggunakan tangan kanan untuk kemudian dihisap hidung dan
disemburkan kembali.
“Kemudian
dimasukkannya tangan kanan ke dalam air (untuk mengambil air), lalu ia
berkumur-kumur dan menghirup air dengan hidungnya serta disemburkan kembali.” 9HR. Bukhari I : 48)
Berkumur dan menghirup air ke hidung
caranya boleh satu kali, dua kali atau tiga kali.
Dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi saw., beliau
bersabda : “Isaplah (oleh hidung) dua kali atau tiga kali.” (HR. Abu Dawud :
141, Ibnu Majah : 408)
Dari Laqith bin Shabrah, sesungguhnya ia
berkata : “Wahai Rasulullah, beri
tahukanlah kepadaku tentang berwudhu.” Beliau bersabda : “Sempurnakanlah wudhu, silanglah antara jari
jemari dan masukkan air ke lubang hidung dengan agak dalam, kecuali kamu
berpuasa.” (HR. Syafi’i, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan
Baihaqi)
Membersihkan gigi
“Seandainya
tidak akan memberatkan umatku, niscaya aku akan menyuruh mereka bersiwak pada
setiap saat.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan Malik)
Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi saw.
bersabda :
“Seandainya
tidak akan memberatkan umatku, niscaya aku akan menyuruh mereka bersiwak pada
setiap berwudhu.” (HR. Malik, Syafi’i, Baihaqi dan Hakim)
Hakim telah menshahihkannya.
Dari ‘Aisyah r.a., bahwa Nabi saw.
bersabda : “Bersiwak dapat menyucikan
mulut dan disenangi oleh Tuhan.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Hibban,
Hakim, Baihaqi dan Darimi)
1.4. Membersihakan Muka dan Janggut
Cara mencuci muka yaitu ambillah seciduk
air dengan kedua tapak tangan, kemudian cuci muka sampai rata tiga kali.
“Sesudah
itu (menghirup air), dibasuhnya muka beliau tiga kali.” (HR. Bukhari I : 48)
Sedangkan cara membersihkan janggut
dilakukan setelah mencuci muka tiga kali yaitu dimulai dari bagian bawah sampai
ke atas.
Dari Anas r.a., bahwa Nabi saw. apabila
berwudhu, beliau mengambil seciduk air dengan tapak tangannya, kemudian beliau
memasukkan ke rahang bawah, lalu beliau membersihkannya dan bersabda : “Demikianlah Tuhanku Yang Maha Mulia dan
Maha Agung menyuruh aku.” (HR. Abu Dawud, Baihaqi dan Hakim)
1.5. Mencuci Tangan sampai ke Sikut
Dilakukan dengan cara mengambil air dengan
tapak tangan, kemudian cucu kedua tangan sampai siku dengan rata tiga kali dan
boleh melebih batas.
Dari Abu Hurairah : “…. Selanjutnya, ia mencuci tangan yang kanan hingga bahu tangan
tercuci, lalu mencuci tangan kiri hingga bahu tangan tercuci ….” (HR.
Muslim : 122)
1.6. Sapu Kepala
Dilakukan dengan cara mengciduk air dengan
kedua tangan, (lalu buang), sapukan ke kepala dari depan, tarik ke belakang,
kemudian kembali ke depan dan sapulah kedua telinga sebelah dalam dengan
telunjuk dan sebelah luar dengan jempol (satu kali).
Dari Abdullah bin Zaid r.a., ia berkata : “Bahwasanya Nabi saw. mengusap kepalanya
dengan tangan, maka Nabi menarik keuda tangannya ke belakang dan mengembalikan
lagi. Beliau memulai dengan bagian depan kepalanya, lalu menarik kedua
tangannya sampai tengkuknya, kemudian mengembalikannya lagi pada tempat
semula.” (HR. Al-Jama’ah Al-Muntaqa I : 95)
Saya (Ishaq bin ‘Isa) bertanya kepada Imam
Malik mengenai seorang laki-laki yang mengusap kepala dalam berwudhu : “Apakah cukup dengan mengusap sebagiannya?”
Imam Malik menjawab : “Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Yahya, dari
ayahnya, dari ‘Abdullah bin Zaid, ia berkata : ‘Rasulullah saw. mengusap dalam wudhu mulai dari ubun-ubunnya sampai
tengkuknya, lalu Rasulullah mengembalikan kedua tangannya ke ubun-ubunnya, maka
ini berarti Nabi mengusap kepala seluruhnya’.” (Fathu Al-Bari : 1 : 251)
Telah mengabarkan kepada kami, Malik, dari
‘Amir bin Yahya Al-Mazini, dari ayahnya bahwa ia berkata : “Saya bertanya kepada ‘Abdullah bin Zaid Al-Anshari : ‘Apakah kamu bisa
memperlihatkan kepadaku bagaimana cara Rasulullah saw. berwudhu?’ ‘Abdullah bin
Zaid berkata : ‘Ya..’, ‘kemudian ia mengusap kepalanya dengan kedua tangannya
dan menarik kedua tangannya ke belakang dan mengembalikan lagi. Ia memulai
dengan bagian depan kepalanya, lalu menarik kedua tangannya sampai dengan
tengkuknya, lalu ia mengembalikannya ke tempat di mana ia memulai, kemudian ia
mencuci kedua kakinya’.” (Al-Maraghi I : 23)
Syafi’i berkata : “Pendapat yang terpilih adalah hendaklah seseorang mengambil air dengan
kedua tangannya, lalu ia mengusap kepalanya dengan kedua tangannya ke belakang,
lalu menariknya kembali ke bagian depan. Ia memulai dari bagian depan
kepalanya, kemudian ia menariknya sampai ke tengkuk, lalu mengembalikannya lagi
sehingga sampai pada tempat di mana ia memulai. Demikianlah cara Nabi saw.
mengusap kepala.” (Al-Um I : 23)
Ibnu Al-Qayyim berkata : “….. dan tidak sah bahwa Nabi membatasi
mengusap sebagian kepalanya. Akan tetapi jika Nabi mengusap ubun-ubunnya,
beliau menyempurnakan sampai dengan serbannya dan terkadang Nabi mengusap
kepalanya dan terkadang mengusap serban dan ubun-ubunnya dengan serbannya.”
(Zaadu Al-Ma’ad 1 : 4)
Pengusapan kepala dan telinga hanya sekali
sebagaimana diterangkan hadits berikut :
Dari ‘Abdurrahman bin Abi Laila, ia
berkata : “Saya melihat ‘Ali berwudhu,
maka ia mencuci muka dan kedua tangannya tiga kali dan mengusap kepalanya satu
kali, kemudian ‘Ali berkata : ‘Demikianlah wudhu Rasulullah saw.’.” (HR.
Abu Dawud I : 26)
Dari Ibnu ‘Abbas, bahwa ia melihat
Rasulullah saw. berwudhu, lalu ia menyebutkan dalam hadits tersebut semuanya
tiga kali – tiga kali dan beliau mengusap kepalanya serta telinganya satu kali
usapan. (HR. Ahmad dan Abu Dawud; Nailul Authar I : 188)
1.7. Mencuci Kaki sampai ke Mata Kaki
Cara mencuci kaki ini boleh juga dilakukan
sampai ke betis sebanyak tiga kali.
“…
lalu mencuci kaki yang kanan hingga betisnya tercuci.” (HR. Muslim I : 122, Nailul Authar I : 189)
“Kemudian
dibasuhnya kaki kanan sampai mata kaki tiga kali, kemudian yang kiri juga
demikian.” (HR. Muttafaq’alaih)
Abi Hurairah menambahkan : “Pernah juga Nabi membasuh anggota wudhu
satu kali-satu kali dan dua kali-dua kali, kecuali mengusap kepala, satu kali
saja.”
Telah berkata Ibnu ‘Abbas : “Nabi saw pernah berwudhu sekali, sekali
(saja).” (HR. Bukhari)
Telah berkata ‘Abdullah bin Zaid : “Sesungguhnya Nabi saw. berwudhu dua
kali-dua kali.” (HR. Bukhari)
Dari ‘Ali : “Sesungguhnya Nabi saw. berwudhu tiga kali-tiga kali.” (HR.
Tirmidzi)
Jika memakai sepatu, cukup diusap bagian
atas sepatunya saja.
“Saya
melihat Rasulullah saw. menyapu atas serbannya dan atas kasutnya (sepatunya).” (Nailul Authar I : 204, Bukhari I : 58-59)
Pada saat pencucian kaki sampai mata kaki
dan pencucian tangan sampai pergelangan, disunnahkan pula menggosok celah-celah
jarinya.
Dari Ibnu ‘Abbas, sesungguhnya Rasulullah
saw. bersabda : “Apabila kamu wudhu, gosoklah celah-celah jari kedua tangan dan
kedua kakimu.” (HR. Ibnu Majah : 429, At-Tirmidzi : 448)
Do’a Setelah Wudhu
Dari ‘Umar bin Khatab r.a., ia berkata : “Rasulullah saw. bersabda : ‘Tidaklah
seorang diantaramu berwudhu, lalu ia sempurnakan wudhunya, kemudian ia ucapkan
:
وَرَسُولُهُ عَبْدُهُ مُحَمَّدًا أَنَّ وَأَشْهَدُ لَهُ شَرِيكَ لاَ وَحْدَهُ
اللَّهُ إِلاَّ إِلَهَ لاَ أَنْ أَشْهَدُ
Asyhadu al laa ilaaha illallaah wahdahu laa syarika lah, wa
asyhadu anna Muhammadan ‘abduhuu wa rasuuluh. (Aku bersaksi sesungguhnya tidak
ada tuhan melainkan Allah Yang Esa; tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi
sesungguhnya Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya), kecuali dibukakan
baginya pintu-pintu surga yang delapan. Ia dapat (masuk) ke pintu mana saja
yang ia kehendaki.” (Muslim, Nailul Authar I : 204).
Catatan : Hadts-hadats yang disucikan dengan
berwudhu adalah buang air besar atau kecil, keluar angin (kentut), dan keluar
madzi.
2.
Hikman dan Fadhilah Wudhu
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata :
Rasulullah saw. bersabda : “Maukah kalian
aku tunjukkan pada sesuatu yang Allah hapuskan kesalahan-kesalahan dan Dia
naikkan beberapa derajat dengannya?” Mereka (para sahabat) para sahabat
menjawab : “Ya, wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda : “Yaitu menyempurnakan
wudhu dalam keadaan-keadaan yang tidak menyenangkan (marah) dan memperbanyak
langkah ke masjid dan menunggu shalat sesudah shalat. Itulah pengikat.”
(Msulim I : 151 dan yang lainnya Muhtashar Shahih Muslim 133)
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata :
Rasulullah saw. bersabda : “Apabila
seorang hamba muslim berwudhu, (ketika) ia membasuh mukanya, keluarlah setiap
dosa pandangan yang dilakukan matanya dari wajahnya bersama air atau bersama
tetes air yang terakhir. Ketika ia mencuci kedua tangannya, keluarlah setiap
dosa yang dikerjakan dari kedua tangannya bersama air atau tetes air yang terakhir.
Ketika ia mencuci kedua kakinya, keluarlah setiap dosa yang dilangkahkan
kakinya bersama air atau tetes air terakhir, sehingga ia keluar dalam keadaan
bersih dari dosa-dosa.” (Muslim I : 148 dan yang lainnya Muhtashar Shahih
Muslim 121)
Dari Abi Hurairah r.a., bahwasanya
Rasulullah saw. sampai di pekuburan, kemudian beliau berkata : “Semoga keselamatan tercurahkan atas kamu
sekalian penghuni tempat kaum beriman dan kami insya Allah dalam waktu dekat
akan menyusul kamu. Aku ingin sekali kalau sekiranya kita (dapat) mengetahui
ikhwan kita.” Mereka (para sahabat) bertanya. “Bukankah kami ikhwan Baginda, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda :
“Kamu sekalian adalah sahabat-sahabatku
dan ikhwan kita adalah mereka yang datang kemudian.” Para sahabat bertanya
: “Bagaimana Baginda mengenal seseorang
yang belum ada dari umat Baginda, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda : “Tahukah kamu seandainya seseorang mempunyai
kuda yang belang putih kening dan kakinya, di antara dua punggungnya yang hitam kelam; bukankah
dia akan mengenali kudanya?” Para sahabat menjawab : “Ya (tentu), wahai Rasulullah.” Beliau bersabda : “Sesungguhnya mereka akan datang kepada-Ku
dalam keadaan belang putih kening dan kakinya karena wudhu dan aku telah telah
mendahului mereka di sebuah danau. Ingatlah, sungguh benar-benar banyak orang
akan terhalau dari danauku sebagaimana terhalaunya seekor unta yang tersesat.
Aku menyeru mereka : ‘Mengapakah kalian tidak kemari?’ Maka dikatakan :
‘Sesungguhnya mereka telah mengganti (mengubah wudhu) sepeninggalmu.’ Maka aku
katakan : ‘Binasa; binasa…’.” (Muslim I : 150, Muhtashar Shahih Muslim :
129)
Dari Abi Umamah r.a., ia menyatakan bahwa
Rasulullah saw. bersabda : “Apabila
seseorang muslim berwudhu, keluarlah dosa-dosanya dari pendengarannya dan
penglihatannya dan dari tangan serta kedua kakinya. Jika ia duduk, ia duduk
dalam keadaan terampuni.” (Hakim V : 252 hadits hasan dan di dalam kitab
Shahih Al-Jami : 461)
Dari Abu Malik Al-Asy’ari r.a., ia berkata
: Rasulullah saw. bersabda : “Kebersihan
adalah sebagian dari iman, alhamdu lillaah memenuhi timbangan, subhaanallaah
dan alhamdu lillaah memenuhi (ruang) antara langit dan bumi, shalat adalah
cahaya, sedekah adalah bukti (keterangan) dan sabar itu bersinar, Al’Qur’an
merupakah hujjah bagi kamu atau hujjah terhadap kamu. Setiap orang pergi
berpagi-pagi menjajakan dirinya, maka ia akan terbebaskan atau dibinasakan.”
(Muslim 1 : 140, Muhtashar Shahih Muslim : 120 dan selainnya)
Dari ‘Utsman r.a., ia berkata : Rasulullah
saw. bersabda : “Barangsiapa yang
berwudhu, kemudian ia membaikkan wudhunya, keluarlah dosa-dosanya dari jasadnya
hingga keluar dari bawah kuku-kukunya.” (HR. Muslim III : 133 dan yang
lainnya)
Dari ‘Utsman r.a., ia berkata : Rasulullah
saw. bersabda : “Barangsiapa yang
berwudhu seperti ini, ia diampuni dari semua dosa yang telah lalu dan shalat
serta langkah kakinya ke mesjid sebagai derma.” (HR. Muslim III : 113)
Dari Hamran bin Aban, bahwasanya ‘Utsman
minta air wudhu, kemudian beliau menyebutkan sifat wudhu Nabi saw., lalu beliau
menyatakan di akhir hadits tersebut Nabi saw. bersabda : “Barang siapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian ia berdiri
shalat dua raka’at tanpa berhadits nafsuh (bercakap-cakap dalam hati atau
ngelantur) dalam keduanya, Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
(HR. Bukhari di dalam Fathul Bary XI : 213, Muslim : 226 dan Nasa’i I :68)
3. Perkara yang Membatalkan Wudhu
3.1. Keluar Madzi
Dari ‘Ali bin Abi Thalib, ia berkata : “Adalah saya seorang yang sangat bermadzi,
lalu saya suruh Miqdad bertanya kepada Nabi, lalu ia bertanya, maka sabdanya :
‘Wajib wudhu karenanya’.” (HR. Muslim 1 : 139, Bukhari 1 : 71, Ibnu Majah :
504, Subulus Salam 1 : 65)
3.2. Keluar Angin dari Dubur
Rasulullah saw. bersabda : “Apabila salah seorang di antara kamu
mendapatkan (merasakan) sesuatu di perutnya sehingga meragukan apakah
mengeluarkan sesuatu darinya ataukah tidak, janganlah ia keluar dari masjid
sampai ia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Muslim, Syarh An-Nabawi
IV : 51, ‘Aaridhatul Ahwidzi 1 : 79)
3.3. Keluar ‘Irqun (darah yang keluar di luar batas haidh)
Jika seorang wanita haidh, kemudian batas
waktu haidh habis, tetapi masih keluar darah, ia tidak perlu mandi janabat
(karena sudah dilaksanakan), hanya berwudhu saja.
Rasulullah saw. bersabda : “Sesungguhnya
darah haidh itu darah hitam yang terkenal, maka apabila ada yang begitu,
berhentilah shalat. Akan tetapi, jika ada yang lain, berwudhulah dan shalatlah,
karena sesungguhnya itu adalah ‘irqun.” (HR. Abu Dawud : 286, An-Nasa’i :
117-118)
Fatimah binti Abu Hubaisy datang kepada
Rasulullah saw., ia berkata : “Sesungguhnya
aku seorang perempuan yang beristihadhah, karena itu aku tidak pernah suci.
Bolehkah aku meninggalkan shalat?” Beliau menjawab : “Sesungguhnya yang demikian itu hanya sekedar ‘irqun.” (HR. Bukhari
I : 79, Muslim I : 148)
3.4. Keluar sesuatu dari Dua Lubang
Yang dimaksud di sini adalah buang air
besar atau kecil. Jika keluar sesuatu dari qubul atau dubur, kita diwajibkan
untuk bersuci kembali.
Dari Abu Hurairah, ia berkata : “Rasulullah saw. bersabda : ‘Allah tidak
menerima shalat seseorang di antara kamu apabila ia berhadats, sehingga ia
berwudhu’. Lalu ada seorang laki-laki
Hadhramaut bertanya : ‘Apakah hadats itu, wahai Abu Hurairah?’ Ia
menjawab : ‘Angin atau kentu’.” (HR. Muttafaq ‘alaih, Fiqhus Sunnah 1 : 45,
Bukhari 1 : 43)
Allah berfirman :
“Jika
kamu junub, mandilah atau…, kembali dari tempat buang air, … lalu kamu tidak
mendapatkan air, bertayamumlah.” (QS.
Al-Maidah:6)
3.5. Tidur Nyenyak
Dari ‘Ali bin Abi Thalib r.a., ia berkata
: Rasulullah saw. bersabda : “Mata itu
penyumbat dubur, maka siapa yang tertidur, hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu
Dawud : 203, Ibnu Majah : 477, Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani Shahih
Al-Jami’ : 4025)
3.6. Hilang Akal selain Tidur
Yaitu hilangnya akal dengan cara apapun,
seperti gila, pingsan dan mabuk. Karena dalam keadaan ini ia tidak tahu telah
batal wudhunya ataukah belum batal wudhunya. Inilah kesepakatan pendapat jumhur
ulama. (Syarh Muslim IV/74, Al-Mughni 1/64)
3.7. Menyentuh Kemaluan/Dzakar
Dari Thalq bin ‘Ali r.a., ia berkata :
Telah berkata seorang laki-laki : “Aku
menyentuh dzakarku.” atau ia (rawi) berkata : “Seorang laki-laki menyentuh dzakanya pada waktu shalat. Apakah ia
harus berwudhu?” Nabi saw. bersabda : “Tidak.
Sesungguhnya dzakar itu bagian dari tubuhmu.” (Diriwayatkan oleh Imam Yang
Lima dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan menurut Ibnu Al-Madani hadits
ini lebih baik daripada hadits Busrah. Bulughul Al-Maram I : 27)
Dari Busrah bin Shafwan r.a., sesungguhnya
Rasulullah saw. pernah bersabda : “Siapa
yang menyentuh dzakarnya, hendaklah berwudhu.” (Diriwayatkan oleh Yang Lima
dan dinyatakan shahih oleh At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban). Menurut Al-Bukhari,
hadits ini adalah hadits yang paling shahih dalam bab ini. (Subulus Salam 1 :
67)
Keterangan : Oleh karena dua hadits itu
berlawanan dan tidak memungkinkan diambil jalah tarjih, mengingat keduanya
sama-sama kuat, perintah dalam hadits tersebut diartikan sunnah sebagaimana
pemahaman Imam Malik. Adapun pendapat Imam Malik, karena kedua hadits itu
berlawanan – jadi – wudhu karena menyentuh dzakar itu sunnah, bukan wajib
(Subulus Salam I : 68)
4. Tidak Harus Wudhu Setelah Mandi
4.1. Alasan orang yang mengatakan Wajib Wudhu setelah Mandi
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata : “Rasulullah telah bersabda : ‘Tidak akan
diterima shalat seseorang diantara kamu apabila berhadats hingga ia berwudhu’.”
(HR. Muslim I : 114)
Rasululla saw. telah bersabda :
“Sesungguhnya amal itu tegantung pada niatnya…” (HR. Bukhari)
Adapunpun wudhu itu bukan mandi dan mandi
bukan wudhu.
4.2. Alasan orang mengatakan Tidak Wajib Wudhu Setelah Mandi
Dari Aisyah r.a. “Sesungguhnya Nabi saw.
tidak wudhu setelah mandi.” (HR. Tirmidzi I : 179)
Dari Ibnu ‘Umar, sesungguhnya ia
mengatakan ketika Nabi saw. ditanya tentang wudhu seseorang setelah mandi,
beliau menjawab : “Wudhu mana yang lebih rata daripada mandi?” (HR. Ibnu Abi
Syaibah)
Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan,
sesungguhnya Nabi telah mengatakan kepada seseorang yang berkata kepadanya :
“Sesungguhnya aku suka wudhu setelah mandi”, maka Nabi mengatakan :
“Sesungguhnya kau berlebih-lebihan.” (Aunu Al-Mas’ud I : 425)
Dari Aisyah r.a., ia berkata : “Adalah
Rasulullah saw. tidak berwudhu lagi setelah mandi junub.” (HR. Ibnu Majah I :
191) Pada sanadnya terdapat rawi bernama Isma’il bin Musa As-Siddi. Dia itu
dhaif.
Menurut As-Syafi’I, kalaulah seseorang
memulai mandi, dan tidak berwudhu, lalu menyempurnakan mandinya, maka hal itu
cukup sebagai wudhu untuk shalat dan bersuci dengan mandi itu lebih sempurna
daripada wudhu. (Al-Um I : 36)
Al-Qur’an mengatakan : “Dan jika kamu hendak
shalat dalam keadaan junub, mandilah.” Ini berarti cukup dengan mandi, tidak
usah wudhu, karena memang tidak ada perintah untuk berwudhu lagi.
Catatan : Tidak semua mandi dapat
menggantikan wudhu, kecuali mandi yang sempurna, yang merata dan ada niat
dengan mandinya itu untuk melaksanakan shalat.
5. Tayammum
Tayammum adalah bersuci dengan tanah untuk
menggantikan bersuci dengan air ketika tidak ada air, baik wudhu maupun mandi
atau tidak mampu menggunakan air karena hal-hal sebagai berikut :
5.1. Sakit
Tayamum boleh dilakukan apabila orang
sakit tersebut tidak dapat memakai air atau kalau memakai air akan bertambah
parah penyakitnya atau terlambat sembuh. Hal ini berdasarkan eksperimen dan
pendapat orang yang ahli dalam bidang kesehatan.
5.2. Tidak ada air di perjalanan atau di pemukiman
Berdasarlam firman Allah swt. : “Jika kamu sekalian sakit atau dalam
perjalanan atau salah satu diantara kamu sekalian dalam perjalanan atau datang
dari kakus atau bersentuhan dengan perempuan, kemudian kamu sekalian tidak
menemukan air, bertayamummlah dengan tanah yang baik.” (QS. An-Nisa’ : 43)
5.3. Air sangat dingin dan tidak dapat
menghangatkannya, sedangkan apabila dia berwudhu, dapat membahayakannya.
5.4. Apabila hanya ada air untuk minum atau
untuk minum binatang yang dilindungi dan tidak ada air untuk berwudhu.
5.5. Apabila dengan berwudhu atau mandi, takut keluar waktu shalat
Seseorang boleh bertayammum bila dengan
mandi atau berwudhu, ia akan kehabisan waktu untuk shalat, kemudian shalat
tanpa harus mengulang.
“…..
dan jika kamu takut sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang
air atau menyentuh perempuan (berjima’), kemudian kamu tidak mendapatkan air,
bertayamummlah dengan yang bersih. Sapulah muka dan tanganmu dengan tanah
tersebut …” (QS. Al-Maidah : 6)
Kata Abu Juhaim : “Nabi saw. datang dari sebelah telaga Jamal dan bertemu dengan seorang
laki-laki. laki-laki itu memberi salam kepada Nabi dan Nabi belum menjawabnya
sehingga Nabi menghadap sebuah tembok, lalu disapunya mukanya dan dua tangannya,
kemudian baru menjawab salam.” (HR. Bukhari I : 87, Nailul Authar I : 266)
Dengan keterangan tersebut, cara
bertayammum itu menepukkan kedua belah tangan ke tanah (debu) yang kering atau
ke dinding yang mengandung tanah atau debu, kemudian menyapukan kedua telapak
tangan itu dengan rata ke muka, dan menyapukan pula ke tangan hingga
pergelangan tangan. Bacaannya sama dengan sesudah atau sebelum berwudhu atau
mandi janabat.
“… kemudian ia tepukkan dua tangannya ke
bumi satu kali, lalu ia sapukan kirinya atas
tangannya dan di belakang dua tapak tangannya dan mukanya.” (HR. Muslim I : 59,
Bukhari I : 87)
Berdasarkan uraian
tersebut di atas, maka tata cara tayammum adalah sebagai berikut :
a.
Menepukkan tangan ke bumi, dinding atau apa saja (yang mengandung debu) atau
debu langsung.
b.
Menyapukan tapak tangan kanan ke tapak tangan kiri dan atas tapak tangan kiri,
kemudian tapak tangan kiri disapukan (telapaknya) ke tangan kanan masing-masing
satu kali sapuan. Kemudian,
c.
Menyapukannya ke muka satu kali.
Tidak mengusap kedua tangan sampai siku dalam tayammum
Pendapat pertama
a. Dari
Ibnu ‘Umar r.a., ia berkata “Rasulullah saw. telah bersabda : ‘Tayammum itu dua tepukkan, satu tepukkan
untuk wajah dan satu tepukkan lagi untuk kedua tangan sampai kedua sikunya.”
(HR. Daruquthni)
b.
Berdasarkan apa yang telah berlaku dalam wudhu mengenai mencuci tangan sampai
kedua sikunya, demikian juga dalam tayammum, mengingat ada kaidah yang mutlak,
hendaklah dibawa kepadanya yang muqayyad.
Pendapat kedua
a. Hadits
Ibnu ‘Umar itu mauquf, sebagaimana dinyatakan dalam kitab Bulughul Al-Maram dan
para imam menshahihkan dan menyepakatinya.
Pada sanad tersebut, ada rawi bernama ‘Ali
bin Zhabyan yang menurut Al-Hafizh, ia dhaif dan telah dinyatakan kedhaifannya
oleh Ibnu Qaththan, Ibnu Ma’in dan yang lainnya.
Menurut Ibnu ‘Abdi Al-Bar, kebanyakan
hadits yang marfu’ dari ‘Ammar adalah satu tepukkan dan hadits yang menyatakan
dua tepukkan semuanya mudh-tharib/goncang (Nailul Authar : 309)
b. Yang
mutlak hendaknya dibawakan kepada yang muqayyad manakala sederajat sebab serta
hukumnya. Sedangkan dalam masalah ini tidak demikian, mengingat wudhu day
tayammum itu tidak sama, disamping itu juga telah ada alasan hadits shahih yang
menyatakan perihal mengusap kedua tangan dalam tayammum itu hanya sampai
pergelangan tangan.
c. Dari
‘Ammar bin Yasir r.a., ia berkata : “….
kemudian Nabi menepukkan kedua tangannya ke tanah satu kali tepukkan, kemudian
mengusapkan tangan kirinya pada punggung tangan kanan (secara silang), kemudian
(mengusap) wajahnya.” (HR. Bukhari – Muslim, tetapi lafadz ada pada Muslim)
Dalam satu riwayat Bukhari dinyatakan :
“Kemudian beliau (Nabi saw.) menepukkan kedua tangannya ke tanah, lalu meniup
kedua tangannya, kemudian mengusap wajah dan kedua tangannya sampai
pergelangan.” (Bulughul Al-Maram : 26)
d. Dengan
ini jelaslah bahwa hadits-hadits yang menerangkan dua tepukkan tidak luput dari
perbincangan seluruh riwayatnya. Andaikata hadits tersebut shahih, tentunya
akan mengamalkannya, mengingat terdapat tambahan. Yang benar kita berpegang
pada hadits yang dikukuhkan Shahihain (Bukhari dan Muslim), hadits dari ‘Ammar
yang membatasi satu tepukkan saja, hingga ada dalil shahih lainnya yang
menyatakan lebih dari ukuran tersebut di atas. (Nailul Authar I : 310)
6.
Mandi Junub
Kata al-ghuslu adalah isim masdar. Kata
tersebut berasal dari kata ightasala, yaitu meratakan badan dengan air.
Al-Ghuslu (mandi) menurut bahasa adalah mengalirkan, sedangkan menurut syara’
adalah menyampaikan air ke seluruh tubuh. Dalilnya adalah firman Allah swt. “
Dan jika kamu sekalian junub, bersucilah.”
Mandi menjadi fardhu karena enam perkara :
6.1. Keluar mani yang
tampak pada dzakar dan farji, walaupun pada hukumnya seperti orang yang
bermimpi dan melihat yang basah walaupun tidak dengan syahwat. Hal ini
didasarkan atas hadits :
Dari Ummu Salamah bahwa Ummi Sulaim
berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari yang hak.
Apakah perempuan itu wajib mandi jika dia bermimpi?” Beliau bersabda : “Ya, jika perempuan itu melihat air (mani).”
Kemudian Ummu Salamah berkata : “Apakah
perempuan suka bermimpi?” Beliau bersabda : “Tanganmu berdebu (berlumuran debu, maksudnya umpatan, bukan dosa)
dengan apa anaknya menyerupainya?” (HR. Bukhari, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu
Majah dan Ahmad)
‘Aisyah r.a., berkata : “Mani adalah
cairan yang kuat yang keluar pada saat birahi sampai pada puncaknya, sehingga
diwajibkan mandi besar.” (HR. Ibnu Mundzir)
Dari Anas bahwa Ummi Sulaim bertanya
kepada Nabi saw. tentang perempuan yang melihat apa yang dilihat oleh laki-laki
pada tempat tidurnya. Beliau bersabda : “Barangsiapa
di antara kamu sekalian mimpi seperti itu, kemudian keluar mani, hendaklah dia
mandi.” Ummu Salamah berkata : “Wahai
Rasulullah, apakah itu terjadi?” Beliau bersabda : “Ya, air mani laki-laki kental dan putih, sedangkan air mani perempuan
encer dan warnanya kuning. Mana yang lebih dominan di antara keduanya, maka
anak itu akan menyerupainya.” (HR. Ahmad, Muslim, Ibnu Majah dan Baihaqi)
6.2. Bertemunya dua
khitan, yakni khitan laki-laki dan khitan perempuan. Pengertian iltiqa
(bertemu) adalah masuknya penis laki-laki pada bagian perempuan dengan kuat,
baik keluar sperma maupun tidak. Hal ini didasarkan hadits ‘Aisyah r.a., dari
Rasulullah saw., beliau bersabda : “Apabila
seseorang duduk pada cabang perempuan yang empat, kemudian khitan menyentuh
khitan, ia wajib mandi.” HR. Ahmad dan Muslim)
Yang dimaksud dengan bertemu dua khitan
adalah bertemunya kemaluan laki-laki dan perempuan dengan pengertian
membenamkan penis ke liang vagina. Pengertian lams atau menyentuh yang dimaksud
bukanlah makna sebenarnya dan bukan pula persentuhan yang sesungguhnya, khitan
wanita berada pada bagian atas vagina dan tidak disentuh oleh penis pada saat
berjima’
Pada Kitab Ad-Dinul Khalish disebutkan,
para ulama telah sepakat bahwa seandainya seorang laki-laki meletakkan penisnya
di atas vagina tanpa memasukkannya, tidak wajib mandi besar.
Berdasarkan hadits tersebut, jelaslah
bahwa kewajiban mandi tidak tergantung pada keluarnya sperma. Akan tetapi,
tanpa keluar sperma-pun sudah wajib mandi. Hal ini didasarkan hadits berikut :
Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw.
bersabda : “Apabila seseorang duduk di
antara cabang (tangan dan kaki) wanita yang empat, kemudian lelah nafasnya,
wajib (baginya) mandi, baik keluar mani maupun tidak.” (HR. Ahmad, Muslim
dan Baihaqi)
Mayoritas ulama fiqih berpendapat,
sesungguhnya seorang laki-laki seandainya memasukkan dzakarnya pada dubur
perempuan, ini adalah haram dengan pasti keduanya wajib mandi, baik laki-laki
maupun perempuan.
6.3. Putus darah dan
nifas, berdasarkan hadits :
Dari Aisyah, bahwa Fatimah binti Abi
Hubaisy istihadhah (keluar darah penyakit), lalu dia bertanya kepada Nabi.
Beliau bersabda : “Itu adalah keringat,
bukan haidh. Apabila datang (darah) haidh, tinggalkan shalat dan apabila hilang
darah haidh, mandilah dan shalatlah.” (HR. Syaikhani)
Dari ‘Ubadah bin Nusay, dari ‘Abdurrahman
bin Ghunam, dari Mu’adz bin Jabal, dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda : “Apabila telah pergi (hilang) bagi wanita
yang nifas tujuh, kemudian dia melihat suci, hendaknya dia mandi dan shalat.”
(HR. Baihaqi)
6.4. Melahirkan tanpa
darah
Hal ini didasarkan Abu Hanifah, golongan
Malik dan Syafi’i yang berkata : “Wajib mandi bagi orang yang melahirkan
sekalipun dia tidak melihat darah karena ihtiyah (hati-hati). Sebab wanita yang
melahirkan tidak akan luput dari bekas darah.
6.5. Meninggal dunia
Para ulama sepakat bahwa diwajibkan bagi
yang masih hidup melaksanakan fadhu kifayah, yaitu memandikan mayat orang
muslim, yang tidak disebabkan melaksanakan sesuatu yang melarang mandi, seperti
mati syahid di medan perang, bughat dan terbunuh karena dizhalimi. Hal ini
didasarkan hadits perkataan Ibnu ‘Abbas : “Ketika
seorang laki-laki berdiri bersama Nabi saw. di ‘Arafah, dia dihempaskan oleh
untanya sehingga meninggal dunia, lalu beliau bersabda : ‘Mandikanlah olehmu
sekalian dengan air dan kayu cendana dan kafanilah dia dengan dua kain (dua
lapis)’.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah,
Ahmad dan Mail)
6.6. Mandi Jum’at
diwajibkan bagi orang muslim yang sudah dewasa, yaitu mandi sebelum ke masjid
untuk melaksanakan shalat Jum’at.
“Apabila
salah seorang diantara kamu sekalian datang (pergi) untuk shalat Jum’at,
hendaknya dia mandi.” (HR. Jama’ah)
Waktu mandi dimulai dari terbit fajar
sampai waktu berangkat shalat. Imam Malik berpendapat bahwa mandi Jum’at harus
berdekatan dengan pemberangkatan. Hal ini didasarkan dalil atas pendapat ini
dengan hadits Muslim, bahwasanya Rasulullah bersabda : “Apabila salah seorang di antara kamu hendak berangkat shalat Jum’at,
hendaknya dia mandi lebih dahulu.” (HR. Bukhari)
Dari ‘Aisyah, isteri Nabi saw. : “Sesungguhnya Nabi apabila mandi karena
janabah, beliau memulai membasuh kedua tangannya, (kemudian mencuci kemaluannya)”,
(tambahan pada riwayat Muslim), “lalu
beliau berwudhu sebagaimana wudhunya mau shalat, kemudian beliau memasukkan
anak jarinya ke dalam air dan digosok-gosokkannya pangkal rambut kepala,
kemudian dituangkannya di atas kepala tiga siuk air dengan kedua belah
tangannya dan dituangkannya air ke seluruh tubuhnya.” (HR. Bukhari 1 : 68,
70; Nailul Authar 1 : 306)
Dari ‘Aisyah, ia berkata : “Adalah Rasulullah saw. apabila mandi
janabat, beliau memulai dengan mencuci dua tangannya, kemudian menuangkan (air)
dengan tangan kanannya atas tangan kirinya, kemudian mencuci kemaluannya, lalu
berwudhu seperti wudhu untuk shalat, kemudian beliau mengambil air, lalu
dimasukkan jari-jarinya di pangkal-pangkal rambutnya sehingga beliau menuang
atas kepalanya tiga tuangan, kemudian menyiram seluruh badannya, kemudian
mencuci kakinya.” (HR. Muslim : 143)
‘Aisyah r.a., mengatakan bahwa Nabi saw.
apabila mandi janabah, beliau meulai mencuci kedua tangannya tiga kali,
kemudian menyiramkan air dengan tangan kanannya pada tangan kirinya, lalu
mencuci farjinya, kemudian berwudhu seperti wudhu untuk shalat, kemudian
mengambil air dan memasukkan jari tangan ke dalam pangkal rambut, sehingga
beliau melihat telah istibra (air sampai ke kulit), lalu menciduk air untuk
kepalanya tiga kali, kemudian menyiramkannya ke seluruh badan, terakhir mencuci
kedua kakinya. (HR. Syaikhani)
Pada suatu riwayat disebutkan : “….
kemudian beliau membersihkan rambut dengan tangannya, sehingga apabila beliau
telah merasa rata, kemudian menyiramkan air tiga kali.”
Ibnu ‘Abbas r.a., meriwayatkan dari
bibinya, Maimunah : “Saya telah menyimpan air (ghuslan) untuk Nabi saw. untuk
mandi janabah, maka beliau menumpahkan air itu pada tangan kanan, lalu
mencucinya dua kali atau tiga kali, kemudian menyiramkan ke fajrinya dengan
tangan kiri, kemudian memukulkan tangannya ke bumi, lalu mencucinya, kemudian
berkumur dan memasukkan air ke hidungnya, lalu mencuci mukanya dan kedua
tangannya. Selanjutnya, beliau menyiramkan air ke kepalanya dan badannya,
kemudian membiarkannya, lalu mencuci kedua kakinya, lalu saya mengambilkan sapu
tangan, tapi beliau tidak mengambilnya dan beliau memercikkan air dari
badannya. Saya menyebutkan hal itu kepada Ibrahim. Ibrahim berkata : ‘Mereka
tidak berpendapat (berkomentar) apa-apa dengan mindil (sapu tangan). Akan
tetapi, mereka tidak menyenangi kebiasaan itu (tetapi tidak apa-apa
melakukannya)’.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi)
7. Beberapa larangan bagi yang tidak bersuci
Perempuan yang haidh atau nifas dilarang
melakukan hal-hal sebagai berikut :
7.1. Shalat dan Puasa
“Maka
apabila datang haidh, hendaklah engkau tinggalkan shalat dan apabila lewat
(qadar biasanya), hendaklah engaku mandi dan shalatlah.” (HR. Bukhari)
“Bukankah perempuan itu kalau haidh tidak
(wajib) shalat dan tidak (wajib) puasa?” (HR. Bukhari)
Telah berkata Ummu Salamah : “Adalah perempuan-perempuan yang nifas pada
zaman Rasulullah saw. tidak shalat empat puluh hari.” (Tirmidzi)
Ada beberapa banyak lagi hadits dan
riwayat yang menunjukkan bahwa perempuan yang nifas tidak diwajibkan shalat
empat puluh hari, kecuali berhenti darahnya sebelum itu.
Telah berkata ‘Aisyah : “… kami (yang
haidh) diperintah oleh Rasulullah mengqadha puasa, tetapi tidak diperintah
mengqadha shalat.: (HR. Muslim)
Diharamkan bagi wanita haidh berpuasa,
baik puasa wajib maupun sunnah dan tidak sah puasa yang dilakukannya. Akan
tetapi, ia berkewajiban mengqadha puasa yang wajib berdasarkan hadits ‘Aisyah
r.a. :
“Ketika
kami mengalami haidh, diperintah kepada kami mengqadha puasa dan tidak diperintah
mengqadha shalat.” (HR. Muttfqa ‘alaih)
Diriwayatkan pula dalam Shahih Al-Bukhari
– Muslim dan Ummu Athiyah r.a., bahwa ia mendengar Nabi saw. bersabda : “Agar keluar para gadis, perawan dan wanita
haidh, yakni kedua shalat ‘id (‘Idul Fitri dan ‘Idul Ad-ha), serta supaya
mereka ikut menyaksikan kebaikan dan do’a orang-orang yang beriman. Akan
tetapi, wanita haidh menjauhi tempat shalat.”
7.2. Thawaf
Diharamkan bagi wanita haidh melakukan
thawaf di Ka’bah, baik yang wajib maupun sunnah dan tidak sah thawafnya. Hal
ini didasarkan sabda Nabi saw. kepada ‘Aisyah :
“Lakukanlah
apa yang dilakukan jama’ah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di Ka’bah
sebelum kamu suci.”
Adapun kewajiban lainnya seperti sa’i
antara Shafa dan Marwah, wukuf di ‘Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina,
melempar jumrah dan amalan haji serta umrah, selain thawaf tidak diharamkan.
Atas dasar ini jika seorang wanita melakukan thawaf dalam keadaan suci,
kemudian keluar haidh langsung setelah thawaf atau di tengah-tengah melakukan sa’i,
tidak apa-apa hukumnya.
7.3. Thawaf Wada’
Jika seorang wanita telah mengerjakan
seluruh manasik haji dan umrah, lalu datang haidh sebelum keluar untuk kembali
ke negerinya dan haidh ini terus berlangsung sampai ia keluar, ia boleh
berangkat tanpa thawaf Wada’. Dasarnya hadits Ibnu ‘Abbas r.a. : “Diperintahkan
kepada jama’ah haji agar saat-saat terakhir bagi mereka berada di Baitullah
(melakukan thawaf Wada’), hanya saja hal itu tidak dibebankan kepada wanita
haidh.” (HR. Syaikhani)
Tidak disunnahkan bagi wanita haidh ketika
hendak bertolak, mendatangi pintu Masjidil Haram dan berdo’a, karena hal ini
tidak ada dasar ajaarannya dari Nabi saw. Adapun seluruh ibadah harus
berdasarkan ajaran (sunnah) Nabi saw. adalah sebaliknya sebagaimana disebutkan
dalam kisah Shafiyah r.a., ketika dalam keadaan haidh setelah thawaf Ifadhah,
Nabi saw. bersabda kepadanya : “Kalau demikian, hendaklah ia berangkat.” (HR.
Muttafaq‘alaih)
Dalam hadits ini Nabi tidak menyuruhnya
mendatangi pintu Masjidil Haram. Andaikata hal itu disyari’atkan, tentu Nabi
sudah menjelaskannya.
Adapun thawaf untuk haji dan umrah tetap
wajib bagi wanita haidh dan dilakukan setelah suci.
7.4. Berdiam di Masjid
Diharamkan bagi wanita haidh berdiam di
dalam masjid, bahkan diharamkan pula baginya berdiam di tempat shalat ‘Id. Hal
ini didasarkan hadits Ummu Athiyah r.a., bahwa ia mendengar Nabi saw. bersabda
: “Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haidh …. Akan tetapi, wanita
haidh menjauhi tempat shalat.” (HR. Muttafaq‘alaih)
7.5. Jima’ (Senggama)
Diharamkan bagi suami melakukan jima’
dengan isterinya yang sedang haidh dan diharamkan bagi isteri memberi
kesempatan kepada suaminya melakukan hal itu tersebut. Dalilnya firman Allah
ta’ala :
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh.
Katakanlah ‘Haidh itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita pada waktu haidh dan janganlah kamu mendekati
mereka sebelum mereka suci….” (Al-Baqarah : 222)
Sumber : Habib Hassan bin Ahmad Al-Mahdaly (Dakta 107.0 FM)
Assalamu'alaikum warakhmatullahi wabarakatuh. terima kasih, tulisan anda menambah ilmu agama saya.semoga saya dapat melaksanakannya seperti anda. saya tidak bisa berkomentar, karena dangkalnya ilmu saya. terima kasih.
BalasHapusThere aren't any free slot platforms that offer extra premium video games, extra bonuses, extra free foreign money, and extra ways to lay again, relax, and let the rolling of the reels paved the way in the direction of|in path of} leisure. Sure, casinos make use of a sure stage of technique in inserting their slots, but each varies and it's not one thing so simple as|as simple as} to be understood with a quick look or paragraph. What's extra, with expertise nowadays, they'll change a machine's payout on the click on of the 카지노 사이트 button. So before you go asking that cute hostess the place want to} play, think again. There isn't any positive method of telling when a slot machine is about to hit. Slot machines are ruled by Random Number Generators, which guarantee a very unpredictable consequence every time you spin the reels.
BalasHapusWhen you wager your real money on on line casino games, you need the reassurance that your funds and data will stay safe and that your on-line on line casino honours payouts. The secret is selecting an 카지노사이트.online online on line casino with a stable status, so we only included trusted firms on our record. Our record of the highest on line casino websites for UK players includes regulated on-line on line casino websites offering broad range|a variety} of fee choices.
BalasHapus