29 Mei 2013

SHALAT ISTISQA

Air adalah kebutuhan pokok bagi semua makhluk hidup. Bila terjadi kekurangan/kelangkaan air untuk keperluan hidup dan penghidupan, Islam menganjurkan shalat Istisqa, yaitu shalat dalam rangka memohonkan kepada Allah untuk diturunkan hujan.
Cara shalat Istisqa (Kaifiyat) ada dua macam :
A. Cara Pertama
Dijelaskan dalam suatu riwayat :
Telah berkata ‘Aisyah : “Orang-orang telah datang mengadu kepada Rasulullah saw. tentang ketiadaan hujan, maka Rasulullah saw. memerintahkan menyimpan mimbar, lalu mereka meletakkan mimbar itu di lapangan tempat shalat dan Rasulullah saw. tentukan satu hari buat manusia supaya keluar ke tempat shalat itu. Maka pada hari yang ditentukan, Rasulullah saw. keluar pada waktu terbit matahari, lalu beliau duduk di atas mimbar, lantas bertakbir dan memuji Allah ‘Azza wa jalla, kemudian beliau bersabda ‘Sesungguhnya kalian mengadu kekeringan negeri dan kelambatan turun hujan dibanding waktu yang biasa, padahal Allah ‘Azza wa jalla telah memerintahkan supaya kamu meminta kepada-Nya dan Ia janji akan memperkenankan permintaan kamu’. Kemudian beliau membaca : ‘Allahamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin.. balaaghan ilaa hiin’, kemudian beliau angkat dua tangan dan tetap mengangkat tangannya hingga kelihtan ketiaknya, lalu beliau membalikkan punggungnya membelakangi orang banyak, beliau memindah selendangnya dan tetap mengangkat kedua tangannya, kemudian beliau menghadap orang ramai, lalu beliau turun dan beliau shalat dua raka’at, lantas Allah adakan awan dan guruh dan kilat, lalu hujan dengan izin Allah.” (Hadits Riwayat AbuDawud)
Kesimpulan dari riwayat :
1. Cara shalat istisqa itu dua raka’at, tempatnya di lapangan dengan berjama’ah.
2. Cara shalat istisqa, Nabi saw. Keluar ke tempat shalat itu pada waktu naik matahari.
3. Cara shalat istisqa, Ada khutbah, tapi tanpa duduk sebentar, seperti khutbah shalat jum’at.
4. Cara shalat istisqa, khatib boleh berselang-seling menghadap dan membelakangi jama’ah dan khatib boleh memakai dan membalikkan selendang sebelah belakang menjadi sebelah depan, dengan mengharap supaya keadaan jadi berubah. Ini termasuk masalah ta’abbudi.
5. Cara shalat istisqa, angkat tangan tinggi-tinggi ketika berdo’a, merendah diri, bersungguh-sungguh meminta kepada Allah swt.
Di antara isi khutbah Rasulullah saw dalam shalat istisqa :

IBADAH

“Segala puji bagi Allah, Rabb semesata alam, Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Penyayang. Penguasa Hari Pembalasan. Tiada Tuhan kecuali Allah yang berbuat menurut kehendak-Nya. Ya Allah, Engkaulah Allah, Engkau Maha Kaya dan kami faqir. Turunkanlah hujan kepada kami dan jadikanlah yang Engkau turunkan kepada kami itu kekuatan dan perbekalan yang cukup sampai waktu yang tertentu. Ya Allah, tumbuhkanlah tanam-tanaman bagi kami, limpahkanlahsusu ternak kami, berilah kami barakah dari langit dan tumbuhkanlah barakah dari bumi bagi kami. Ya Allah, angkatlah kesulitan, kelaparan dan kebinasaan dari kami. Hilangkanlah bala bencana dari kami karena tidak ada yang akan menghilangkannya kecuali Engkau. Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, maka turunkanlah hujan dari langit sebanyak-banyaknya.” (Hadits Riwayat Abu Dawud)
B. Cara Kedua
Telah berkata Anas : “Sesungguhnya telah masuk seorang laki-laki ke masjid pada suatu hari Jum’at pada waktu Rasulullah saw. sedang berdiri berkhutbah. Maka ia menghadap Rasulullah saw. sambil berdiri, lalu berkata : ‘Ya Rasulullah, telah binasa binatang-binatang dan putsu pelayaran. Mintalah supaya Allah hujani kami’. Maka Rasulullah pun mengangkat kedua tangannya, lalu berdo’a : Allahumma aqhitsnaa, allahumma aqhitsnaa! Kemudian turun hujan’.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
Telah berkata Ibnu ‘Abbas : “Telah datang seorang Arab gunung kepada Nabi saw., lalu ia berkata : ‘Ya Rasulullah, saya datang dari suatu kaum yang kekeringan tumbuh-tumbuhan dan keputusan air’. Maka Nabi pun naik ke atas mimbar, lalu memuji Allah, lantas berdo’a : ‘Ya Rabb kami, cucurkanlah atas kami hujan yang bisa melepaskan, yang berlapis-lapis, yang menyuburkan, yang rata dan lebat, dengan cepat tidak lambat’. Lalu beliau turun. Sesudah itu tidak ada seorangpun datang dari desa-desa itu melainkan berkata : ‘Sesungguhnya hiduplah kami’.” (Hadits Riwayat Ibnu Majah)
Kesimpulan dari dua hadits di atas :
1. Mintalah hujan pada hari Jum’at itu tidak perlu dilakukan dengan cara shalat dan khutbah.
2. Mintalah hujan itu boleh dengan cara berdo’a di atas mimbar saja.


Sumber : Habib Hasan bin Ahmad Al-Mahdaly (Radio Dakta 107.0 FM)


24 Mei 2013

SHALAT ISTIKHARAH

Bila dalam kehidupan sehari-hari kita dihadapkan pada pilihan-pilihan yang harus kita sikapi dan kita dalam keadaan keraguan, tidak bisa menentukan mana yang terbaik, kita disunnahkan melakukan cara shalat sunnah istikharah dua raka’at untuk meminta ketetapan pilihan terbaik kepada Allah. Cara shalat istikharah sama dengan shalat sunnah biasa, hanya lebih baik dikerjakan di rumah.
Dalam suatu riwayat disebutkan :
Telah berkata Jabir : “Rasulullah saw. Pernah mengajar kami istikharah dalam semua urusan penting sebagaimana beliau mengajar kami surat Qur’an. Beliau bersabda : ‘Seorang dari kamu kalau mau mengerjakan satu perkara hendaklah shalat dua raka’at yang bukan fardhu, kemudian hendaklah ia berdo’a : Allahumma innii astakhiiruka…. dan hendaklah ia sebut hajatnya’.” (Hadits Riwayat Bukhari)
Doa Istikharah

 “Ya Allah, sesungguhnya saya mohon pilihan kepada-Mu berdasarkan ilmu-Mu. Saya mohon ketetapan-Mu atas kekuasaan-Mu, saya mohon kurnia-Mu yang besar karena hanya Engkaulah yang sungguh-sungguh berkuasa, sedang saya tidak berkuasa. Engkau Maha Mengetahui, sedang saya tidak tahu apa-apa. Engkau Maha Mengetahui tentang segala yang ghaib. Ya Allah, Engkau mengetahui jika urusan ini … baik untuk saya dalam segi agama saya, dalam segi kehidupan saya dan dalam segi akibat urusan saya atau katakan cepat atau lambat urusan saya, takdirkan ia untuk saya, mudahkan dan berkahilah saya dalam hal itu. Akan tetapi, jika Engkau mengetahui bahwa hal … jelek bagi saya dalam segi agama saya, dalam segi kehidupan saya dan dalam segi akibat urusan saya atau katakanlah cepat atau lambat urusan saya, jauhkanlah hal itu dari saya atau jauhkanlah saya darinya, kemudian takdirkan bagi saya kebaikan di mana saja adanya, kemudian ridhakanlah saya atas takdir-Mu itu.” (Hadits Riwayat Bukhari)


Sumber : Habib Hassan bin Ahmad Al-Mahdaly (Radio Dakta 107.0 FM)



23 Mei 2013

SHALAT JENAZAH DAN SHALAT GHAIB


SHALAT JENAZAH
Shalat jenazah dilaksanakan bertalian dengan meninggalnya seorang muslim atau muslimah, termasuk anak-anak mereka sekalipun itu karena keguguran (kluron). Hukumnya fardhu kifayah, yakni apabila telah ada sebagian orang yang menshalatkan, terlepaslah kewajiban orang yang tidak ikut menshalatkannya.
Bagi mereka yang ikut melaksanakan shalat jenazah, Rasulullah saw. bersabda :
“Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata : “Rasulullah saw. bersabda : ‘Barang siapa yang menyaksikan (berada di tempat) jenazah hingga ia ikut menshalatkannya, maka dia memperoleh pahala satu qirath. Barang siapa yang menyaksikan (berada di tempat jenazah) hingga jenazah tersebut dikubur, maka ia memperoleh pahala dua qirath’. Ditanyakan kepada beliau : ‘Apakah dua qirath itu?’ Beliau menjawab : ‘Seperti dua gunung besar’.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu ‘Abbas r.a., berkata : “Sesungguhnya saya mendengar Rasulullah saw. bersabda : ‘Tiada orang muslim yang meninggal dunia, lalu dishalatkan oleh empat puluh orang laki-laki yang tidak mempersekutukan sesuatu dengan Allah, kecuali Allah memberi syafa’at kepada mereka’.” (Hadits Riwayat Muslim)
Cara Shalat Jenazah
Cara shalat jenazah sebagaimana diterangkan dalam suatu riwayat :
Telah berkata Abu Umamah : “Seorang sahabat dari Nabi saw. telah mengabarkan kepadaku tentang shalat jenazah; (mula-mula) imam bertakbir, kemudian baca Al-Fathihah setelah takbir pertama dengan perlahan, kemudian shalawat kepada Nabi saw. dan mendo’akan si mati dengan ikhlas, dalam (tiga) takbir dan tidak baca Al-Qur’an di dalam takbir itu, kemudian ia bersalam dengan perlahan.” (Riwayat Syafi’i)
Jika mayat itu laki-laki, imam harus berdiri dengan cara menghadap kepalanya. Jika mayat itu perempuan, imam harus berdiri dengan cara menghadap perut.
Dari Samurah, ia berkata : “Saya shalat di belakang Rasulullah saw. untuk seorang wanita yang mati melahirkan. Rasulullah saw. berdiri (menghadap) bagian tengah tubuh mayit itu ketika menshalatkannya.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
Telah berkata Abu Ghalib : “Saya pernah menyaksikan Anas bin Malik menshalatkan mayat laki-laki dengan berdiri dekat kepalanya. Maka ‘Ala’ bin Ziyad bertanya : ‘Ya Aba Hamzah (Anas bin Malik), apakah demikian Rasulullah saw. berdiri dekat mayat laki-laki?’ Jawabnya : ‘Ya’.” (Hadits Riwayat Turmudzi)
Wudhu dahulu sebelum shalat jenazah
Sesungguhnya ‘Abdullah bin ‘Umar pernah berkata : “Tidak sah seorang laki-laki shalat jenazah, kecuali dia wudhu terlebih dahulu.” (Hadits Riwayat Malik, Al-Muwaththa’ I : 229)
Kesimpulan cara shalat jenazah :
1. Niatkan di dalam hati untuk menshalatkan jenazah karena Allah dan ikhlaskan do’a untuknya. Rasulullah saw. besabda : “Bila kalian shalat jenazah, hendaklah kalian berdo’a dengan ikhlas.” (Hadits Riwayat Abu Dawud)
2. Takbir empat kali
2.1. Takbir pertama untuk memulai shalat dengan cara mengangkat tangan, kemudian membaca ta’awwudz, dilanjutkan dengan cara membaca basmalah, kemudian membaca surat Al-Fathihah.
2.2. Takbir kedua dengan cara mengangkat tangan, selanjutnya membaca shalawat kepada Nabi saw. sebagaimana bacaan shalawat dalam tasyahhud akhir pada shalat wajib.
2.3. Takbir ketiga dengan cara mengangkat tangan, lalu mendo’akan si mayat dengan do’a :
Allahummagh fir li hayyna wa mayyitinaa wa shaghirinaa wa kabiirinaa wa dzakarinaa wa untsaanaa wa syaahidinaa wa ghaaibinaa allahumma man ahyaytahu minnaa fahyihi ‘ala islaami wa man tawaffaytahu minna fatawaffahu ‘ala imanani.
“Ya Allah, ampunilah dosa kami yang hidup dan yang mati, yang kecil dan besar, laki-laki dan perempuan, yang hadir dan yang tidak hadir. Ya Allah, siapa yang Engkau hidupkan di antara kami, hidupkanlah dia dalam Islam dan yang Engkau matikan di antara kami, matikanlah di dalam iman.” (Hadits Riwayat Muslim)
2.4. Takbir keempat dengan cara mengangkat tangan, lalu membaca do’a :
Allaahumma laa tahrimnaa ajrahu wa laa taftinnaa ba’dahu waghfir lanaa wa lahu
“Ya Allah, janganlah Engkau tahan untuk kami pahalanya dan janganlah Engkau tinggalkan fitnah untuk kami setelah kepergiannya serta ampunilah kami dan dia.” (Hadits Riwayat Syafi’i)
2.5. Setelah itu selesai dengan cara mengucapkan salam :
“Assalaamu ‘alaikum wa rahmatullah”
(Dengan cara menengok ke kanan dan ke kiri). Selesailah shalat jenazah.

SHALAT GHAIB
Shalat ghaib adalah menshalatkan jenazah secara ghaib (berada di tempat lain), baik dekat maupun jauh. Caranya sama seperti kita melaksanakan shalat jenazah.
Nabi saw. Menshalatkan jenazah (ghaib) ketika Raja Habasyah wafat dengan empat kali takbir.
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw. Telah mengabarkan kepada sahabat-sahabatnya hal kematian Najasyi (Raja Habasya) pada hari meninggalnya. Lalu beliau keluar bersama sahabat-sahabatnya ke tempat shalat dan beliau atur shaf mereka, lantas ia takbir empat kali. (Hadits Riwayat Bukhari)

Sumber : Habib Hassan bin Ahmad Al-Mahdaly (Radio Dakta 107.0 FM)

SHALAT SUNNAH DHUHA

Shalat sunnah Dhuha boleh dikerjakan dua raka’at, empat raka’at, enam raka’at dan paling banyak duabelas raka’at. Adapun waktunya kira-kira antara pukul 08 sampai pukul 11 pagi hari.
Cara shalat sunnah dhuha adalah sebagai berikut :
1. Shalat dengan cara dua raka’at sebagaimana hadits :
     Telah berkata Abi Hurairah : “Kekasih saya (Nabi saw.) telah berwasiat tiga perkara kepada saya, yaitu shaum tiga hari tiap-tiap bulan (tanggal 13, 14, 15), shalat dhuha dua raka’at dan shalat witir sebelum tidur.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
2. Shalat dengan cara empat raka’at atau lebih, sebagaimana hadits :
     Ada yang bertanya kepada’ Aisyah : “Adakah Rasulullah saw. shalat Dhuha?” Jawabnya : “Ada, yaitu empat raka’at, terkadang beliau tambah seberapa yang dikehndaki Allah.” (Hadits Riwayat Muslim)
3. Shalat dengan cara delapan raka’at, sebagaimana hadits :
     Telah berkata Ummu Hani’ : “Rasulullah saw. pergi mandi dan dilindungi oleh Fathimah, kemudian beliau ambil kainnya, lalu berselimut dengannya, kemudian beliau shalat delapan raka’at, yaitu shalat sunnah dhuha.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
Perlu diketahui bahwa Rasulullah saw. tidak mendawamkan (terus menerus) melaksanakan shalat sunnah Dhuha. Menurut riwayat Siti ‘Aisyah r.a., bahwa Rasulullah saw. hanya mengerjakan shalat Dhuha apabila beliau pulang dari bepergian sebagaimana riwayat :
Dari ‘Aisyah, bahwasanya ia pernah ditanya : “Apakah Rasulullah saw. shalat Dhuha?” Ia menjawab : “Tidak, kecuali apabila datang dari bepergian.” (Hadits Riwayat Muslim)
Pada keterangan lain, ‘Aisyah juga menerangkan :
“Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw. shalat sunnah Dhuha (dengan tetap), tetapi saya mengerjakannya.” (Hadits Riwayat Muslim)

Sumber : Habib Hassan bin Ahmad Al-Mahdaly (Radio Dakta 107.0 RM)

22 Mei 2013

SHALAT TAHIYYATUL MASJID

Nabi saw. bersabda : “Barang siapa di antara kamu masuk ke dalam masjid, janganlah duduk sebelum shalat dua raka’at.” (Hadits Riwayat Bukhari)
Nabi saw. bersabda : “Barang siapa di antara kamu masuk ke dalam masjid, maka shalatlah dua raka’at sebelum duduk.” (Hadits Riwayat Bukhari)
Cara melaksanakan shalat Tahiyyatul masjid pada setiap kita masuk masjid sebelum duduk shalat dua raka’at, terkecuali pada waktu terlarang, seperti sabda Rasulullah saw. :
“Nabi saw. melarang shalat setelah Shubuh sampai matahari terbit.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
“Nabi saw. melarang shalat setelah shalat ‘Ashar.” (Hadits Riwayat Bukhari)
“Rasulullah saw. melarang shalat tengah hari sebelum matahari tergelincir (ke Barat).” (Hadits Riwayat Abu Dawud)
Jadi ada tiga waktu yang dilarang Rasulullah saw. untuk melaksanakan shalat sunnah :
1. Setelah shalat Shubuh sampai matahari terbit.
2. Sesudah shalat ‘Ashar hingga hilangnya waktu ‘Ashar.
3. Ketika matahari berada di tengah-tengah (sebelum matahari tergelincir ke barat)

Sumber : Habib Hassan bin Ahmad Al-Mahdaly (Radio Dakta 107.0 FM)

SHALAT SUNNAH FAJAR

Ibadah shalat sunnah Fajar disebut juga shalat sunnah qabla Shubuh.
Rasulullah saw. bersabda : “Dua raka’at sunnah fajar itu lebih baik dari pada dunia berikut isinya.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Muslim)
Dari ‘Aisyah r.a., ia berkata :
“Saya tidak pernah melihat (Nabi saw.) bergitu rajin dan bersegera mengerjakan suatu kebaikan sebagaimana beliau rajin dan bersegera melakukan dua raka’at sebelum Shubuh.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Muslim)
“Janganlah kau tinggalkan dua raka’at sunnah fajar itu meskipun kamu dikejar oleh tentara berkuda.” (Hadits Riwayat Abu Dawud, Baihaqi dan Thahawi)
Dari tiga hadits tersebut diatas, kita dapat menilai bahwa shalat sunnah qabla Shubuh itu sangat penting. Cara pelaksanaannya seperti cara melakukan shalat sunnah biasa, membaca Fatihah pada setiap raka’at, tetapi lebih baik kalau pada raka’at pertama dilakukan dengan cara membaca surat Al-Kafirun dan cara bacaan pada raka’at surat Al-Ikhlas.
Dalilnya menurut riwayat Siti ‘Aisyah r.a., ia berkata :
“Dua surat itu sebaik-baiknya surat (Rasulullah saw.) membaca qul yaa ayyuhal kaafiruun dan qul huwallaahu ahad pada masing-masing raka’at dari shalat qabla Shubuh.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah)

Sumber : Habib Hassan bin Ahmad Al-Mahdaly (Radio Dakta 107.0 FM)

21 Mei 2013

SHALAT SUNNAH RAWATIB


Shalat sunnah Rawatib adalah termasuk dalam ibadah shalat sunnah Muqayyad, yaitu carak melaksanakan raka’at dan waktunya dibatasi, dikerjakan sebelum atau setelah ibadah shalat wajib yang lima waktu, yaitu :
1. Sebelum melaksanakan ibadah shalat Zhuhur terlebih dahulu melaksanakan shalat sunnah dengan cara dua raka’at atau empat raka’at.
2. Sesudah ibadah shalat Zhuhur melaksanakan shalat sunnah dengan cara dua raka’at.
3. Sesudah ibadah shalat Maghrib melaksanakan shalat sunnah dengan cara dua raka’at.
4. Sesudah ibadah shalat ‘Isya’ melaksanakan shalat sunnah dengan cara dua raka’at.
5. Sebelum ibadah shalat Shubuh melaksanakan shalat sunnah dengan cara dua raka’at.
Rasulullah saw. menjelaskan dalam beberapa hadits sebagai berikut :
Telah berkata ‘Abdullah bin ‘Umar : “Saya hafal tentang shalat sunnah Nabi saw., yakni sepuluh raka’at, dua raka’at sebelum Zhuhur dan dua raka’at sesudahnya, dua raka’at ba’dal Maghrib di rumahnya, dua raka’at ba’dal ‘Isya’ di rumahnya dan dua raka’at sebelum Shubuh.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
Kemudian untuk ibadah shalat sebelum Zhuhur boleh dilakukan dengan cara empat raka’at, dalilnya :
‘Aisyah r.a. berkata : “Adalah Nabi saw. shalat sebelum Zhuhur empat raka’at di rumahnya.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
“Barang siapa shalat dua belas raka’at sehari semalam selain dari shalat fardhu, maka akan dibangunkan baginya satu rumah di surga.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Muslim)
Dijelaskan bahwa Rasulullah saw. shalat sunnah denga cara empat raka’at sebelum shalat Zhuhur, maka jumlah shalat Rawatib menjadi 12 raka’at. Baik hadits yang menyebutkan 10 raka’at atau 12 raka’at, keduanya haditsnya shahih. Oleh karena itu, kita boleh memilih yang kita sukai.

Sumber : Habib Hasaan bin Ahmad Al-Mahdaly (Radio Dakta : 107.0 FM)

MACAM-MACAM SHALAT SUNNAH

Secara garis besar, cara shalat sunnah itu ada dua macam, yakni shalat sunnah Mutlaq dan Muqayyad.
A.  Shalat Sunnah Mutlaq
      Dalam cara shalat ini, cukup seseorang berniat untuk melaukan shalat sunnah tanpa memperhitungkan cara berapa raka’at yang akan dikerjakan. Ia boleh melakukan  cara atau memberi salam selesai satu raka’at  atau lebih atau berapa saja jumlah raka’at yang ditakdirkan atasnya, baik secara ganjil maupun genap.
      Hadits yang diterima dari Abu Dzar :
      “Ia melakukan shalat dengan raka’at yang banyak. Seusai salam ia ditegur oleh Ahnaf bin Qais rahimahullah : ‘Tahukah engkau bilangan salam pada raka’at ganjil atau genap?’ Ia mejawab : ‘Kalau saya tidak tahu, Allah pasti mengetahuinya. Saya pernah mendengar kekasihku Abu Qasim Nabi saw.) bersabda  (sampai di sini Abu Dzar menangis lalu melanjutkan perkataannya lagi) : Tak seorang hambapun yang bersujud pada Allah satu kali saja, kecuali ia di angkat oleh Allah satu derajat dan dihapuskan darinya satu dosa’.” (Hadits Riwayat Baihaqi dan Daruquthni dengan sanad yang shahih, walau ada satu parawi yang oleh para muhaditsin dipertanyakan tentang adalahnya)
B.  Shalat Sunnah Muqayyad
      Terbagi atas :
1. Shalat-shalat sunnah yang terikat dengan shalat-shalat fardhu, disebut shalat sunnah Rawatib.
2. Shalat-shalat sunnah yang terikat dengan waktu-waktu tertentu, seperti Dhuha, Witir, Khusuf, Kusuf, Istiqa’ dan lain-lain.
Sesungguhnya telah datang seorang Arab gunung, lalu bertanya :
“Ya Rasulullah, kabarkanlah kepada saya shalat apakah yang difardhukan Allah atas saya?” Beliau menjawab : “Shalat lima waktu, kecuali kalau engkau mau shalat sunnah.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
Pertanyaan Arab Badui di atas menunjukkan cara ibadah selain shalat yang diwajibkan (lima waktu), Rasulullah saw. Mencontohkan pula cara shalat-shalat sunnah. Ibadah shalat wajib dikerjakan berjama’ah di masjid/mushalla, sedangkan shalat sunnah lebih utama dikerjakan di rumah, kecuali yang berhubungan dengan tempat/kejadian, seperti Tahiyyatul Masjid, Istiqa’, Kusuf dan lain-lain. Nabi bersabda : “Seutama shalat seseorang di rumahnya, kecuali shalat fardhu (lima waktu).” (Hadits Riwayat Nasa’i dan Thabrani)
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah saw. Bersabda : “Kerjakanlah sebagian shalatmu dalam rumahmu dan jangan jadikan rumahmu itu sebagai kuburan.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)
KEUTAMAAN AMALAH SUNNAH
Rabb kami berfirman keapda malaikat-Nya, sedangkan Dia Maha Mengetahui : “Periksalah shalat hamba-Ku, cukupkah atau kurangkah?” Maka kalau terdapat cukup, dicatatlah cukup, tetapi kalau ada kekurangan, Allah berfirman : “Periksalah lagi, apakah hamba-Ku mempunyai amalan shalat sunnah?” Jika terdapat shalat sunnahnya, Allah berfirman lagi : “Cukupkanlah kekurangan shalat fardhu hamba-Ku itu dengan shalat sunnahnya. Selanjutnya, diperhitungkan amal itu menurut cara demikian.” (Hadits Riwayat Abu Dawud)
Allah swt. berfiman dalam hadits Qudsi :
“Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan hal-hal yang sunnah, sehingga ia Ku senangi dan Ku cintai. Karenanya Akulah yang menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, (menjadi) penglihatannya yang dengannya ia melihat, (menjadi) lidahnya yang dengannya ia bertutur kata, dan (menjadi) akalnya yang dengannya ia berfikir. Apabila ia berdo’a kepada-Ku, niscaya Aku perkenankan do’anya. Apabila ia meminta kepada-Ku, niscaya Aku memberinya. Apabila ia meminta pertolongan kepadaku-Ku, niscaya Aku menolongnya. Ibadah yang dilakukannya kepada-Ku yang paling Aku senangi ialah menunaikan kewajibannya dengan sebaik-baiknya untuk-Ku.” (Hadits Riwayat At-Thabrani dalam kitab Al-Kabir yang bersumber dari Abu Umamah)

Sumber : Habib Hassan bin Ahmad Al-Mahdaly (Radio Dakta 107.0 FM)


WAKTU TERLARANG UNTUK SHALAT


1. Dari Abu Sa’id, bahwa Nabi saw. tidak shalat setelah shalat ‘Ashar hingga terbenam matahari dan tidak shalat setelah shalat Shubuh sampai terbit matahari. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
2. Dari ‘Ali r.a. : “Rasulullah saw. melarang shalat setelah shalat ‘Ashar, kecuali dalam keadaan matahari masih memutih dan masih tinggi.” (Hadits Riwayat An-Nasa’i : 225)
3. Dari Ibnu ‘Umar, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda : “Janganlah salah seorang di antaramu mempedulikan shalat pada saat (menjelang) terbit matahari atau saat terbenam matahari.” (Hadits Riwayat An-Nasa’i : 223)
Keterangan :
Berdasarkan hadits no. 1 di atas, kita tidak boleh melakukan shalat setelah ‘Ashar atau setelah shalat Shubuh, baik itu shalat tahiyyat masjid atau shalat mayit. Yang dimaksud ba’da ‘Ashar atau ba’da Shubuh ialah saat menjelang terbenam atau terbit matahari, berdasarkan hadits no. 2 dan no. 3.
Jadi, tidak apa-apa melakukan shalat seperti tahiyyat masjid atau shalat mayit setelah ‘Ashar, saat matahari masih tinggi dan bersih memutih atau langsung ba’da Shubuh sebelum saat menjelang terbit matahari. Hal ini dikuatkan pula dengan bukti adanya seorang sahabat yang melakukan sunnah qabla Shubuh langsung setelah shalat Shubuh dan diketahui oleh Nabi.
4. Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw. telah bersabda : “Siapa yang mendapat (kesempatan) satu raka’at dari shalat Shubuh sebelum terbit matahari, maka ia terhitung mendapat shalat (dengan sempurna) dan siapa yang mendapatkan satu raka’at dari shalat ‘Ashar sebelum matahari terbenam, maka berarti ia mendapat shalat ‘Ashar dengan sempurna.” (Hadits Riwayat Syaikhani)
5. Dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa Nabi saw. telah bersabda : “Siapa yang lumpa shalat atau tertidur, maka kafaratnya hendaknya ia shalat pada waktu ia ingat.” (Hadits Riwayat Muslim)
Keterangan :
Berdasarkan hadits no. 4 dan no. 5 di atas, mereka yang lupa atau tertidur hendaklah langsung shalat pada waktu dia ingat atau bangun sekalipun saat menjelang terbit atau terbenam matahari. Andai dia shalat Shubuh, di mana yang satu raka’at lagi setelah matahari terbit, shalatnya sah.
6. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata : “Tiga saat Rasulullah saw. melarang kami shalat dan mengubur mayit pada saat itu ialah : Saat matahari terbit hingga tinggi, saat tegak panas terik matahari (tengah hari) hingga tergelincir matahari dan saat matahari hampir terbenam hingga terbenam.” (Hadits Riwayat Al-Jama’ah, kecuali Bukhari, Nailul Authar III : 104)

Sumber : Hasssan bin Ahmad Al-Mahdaly (Radio Dakta : 107.0 FM)


SHALAT JAMA DAN QASHAR


A.  JAMA’
      Menjama’ shalat artinya menyatukan dua waktu shalat dalam satu waktu. Yang dapat dijama’ itu shalat Zhuhur dengan shalat ‘Ashar. Bila dilaksanakan pada waktu ‘Ashar, disebut Jama’ ta’khir. Adapun jika shalat ‘Ashar dan Zhuhur dilaksanakan pada waktu Zhuhur, disebut Jama’ taqdim.
      Selain shalat Zhuhur  dan ‘Ashar, jama’ berlaku juga bagi shalat Magrib dan ‘Isya’ atau sebaliknya. Tidak berlaku bagi shalat Subuh dan Zhuhur, juga shalat Magrib dan ‘Ashar dan sebaliknya.
      Dari Mu’adz, ia berkata : “Telah keluar kami bersama Nabi saw. dalam perang Tabuk, maka Nabi shalat Zhuhur dan ‘shalat Ashar dijama’. Demikian pula shalat Maghrib dan shalat ‘Isya’ dijama’.” (Hadits Riwayat Muslim)
      Sesungguhnya Nabi saw. menjama’ shalat Zhuhur dan shalat ‘Ashar serta antara shalat Maghrib dan shalat ‘Isya’ di Madinah, dengan tidak ada yang ditakuti (perang) dan tidak pula hujan. Ditanyakan kepada Ibnu ‘Abbas : “Apa maksud (Rasulullah) mengerjakan hal tersebut?”. Jawab Ibnu ‘Abbas : “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya.” (Hadits Riwayat Muslim)
      Dari beberapa keterangan hadits tersebut di atas, dapat disimpulkan :
1. Cara shalat Jama’ dapat dilaksanakan tanpa ada sebab/udzur (bepergian atau lainnya), hanya saja tidak boleh dibiasakan karena akan mengubah ketentuan waktu shalat yang wajib.
2. Cara shalatnya harus tamam (sempurna) jumlah raka’atnya, tidak diqashar kecuali bagi musafir.
3. Cara menjama’ boleh menggunakan shalat Zhuhur dengan shalat ‘Ashar, shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya’. Bila shalat ‘Ashar ditarik ke waktu shalat Zhuhur, namanya jama’ taqdim. Bila shalat Zhuhur diundur ke waktu shalat ‘Ashar, namanya jama’ ta’khir.
B.  QASHAR
      Shalat qashar artinya meringkas jumlah raka’at shalat yang empat menjadi dua raka’at. Semua shalat wajib boleh di qashar, kecuali shalat Maghrib dan shalat Shubuh. Dalil-dalil qashar tercantum dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 101.
      “Dan jika kmau mengadakan perjalanan di permukaan bumi, kamu tidak berdosa mengqashar shalat bila kamu takut diserang oleh kaum kafir. Sesungguhnya kaum kafir itu musuhmu yang nyata.”  (QS. An-Nisaa : 101)
      Ketika ayat ini turun, Abu Ya’la bertanya kepada ‘Umar bin Khaththab dan ‘Umar r.a. bertanya kepada Rasulullah.
      Dari Ya’la bin Umayyah, ia berkata : “Saya bertanya kepada ‘Umar bin Khaththab r.a. (tentang ayat) : ‘Maka kamu tidak berdosa mengqashar shalat jika kamu takut diserang oleh kaum kafir, sedangkan sekarang orang sedang merasa aman’. Maka jawabnya : “Saya pernah tertarik dengan apa yang menjadi perhatianmu itu, maka saya pernah pula bertanya kepada Rasulullah saw. tentang hal itu. Maka jawab beliau : Shalat qashar itu adalah shadaqah yang diberikan Allah kepadamu, maka terimalah shadaqah itu’.” (Hadits Riwayat Muslim)
      Semua rukhshah (keringanan) hanya diberikan kepada umat Islam yang berhijrah dari Makkah ke Madinah karena dikejar-kejar oleh kafirin dalam situasi perang. Sesudah situasi tenang tetap diberlakukan rukhshah ini karena kemurahan dari Allah swt. Kemurahan yang Maha Rahman dan Rahim ini tidak disia-siakan oleh Rasulullah saw. sebagaimana tercantum dalam beberapa hadits berikut ini :
      Dari Ibnu ‘Abbas r.a., ia berkata : “Pernah Nabi saw. menetap di suatu tempat sembilan belas hari, beliau mengqashar shalat.” (Hadits Riwayat Bukhari)
      Dari Anas r.a., ia berkata : “Kami berangkat bersama Nabi saw. dari Madinah ke Makkah, maka beliau shalat dua raka’at sampai kami kembali ke Madinah. Ada yang bertanya kepadanya : ‘Apakah kamu menetap di Makkah?’ Jawabnya : ‘Kami menetap di Makkah sepuluh hari’.” (Hadits Riwayat Bukhari)
      “Sesungguhnya Ibnu ‘Umar pernah diam di Adzarbaijan 6 bulan; mengqashar shalat.” (Hadits Riwayat Baihaqi)
      Kalau perjalanan Madinah – Makkah pergi dan pulang dengan naik unta ditempuh dalam tempo 20 hari, Rasulullah saw. Selama 30 hari Rasulullah saw. melaksanakan shalatnya dengan cara mengqashar.
      Dari Haritsah bin Wahab, ia berkata : “Kami pernah shalat di Mina bersama Nabi saw. dua raka’at dalam keadaan aman.” (Hadits Riwayat Bukhari)
      Keterangan :
1. Shalat qashar hanya boleh dilakukan oleh musafir.
2. Shalat qashar itu shadaqah dari Allah. Oleh karena itu, shadaqah dari Allah swt. mesti kita terima, jangan ditolak.
3. Pendapat bahwa cara mengqashar shalat dalam perjalanan hanya dibolehkan selama tiga atau empat hari, misalnya, jelas tertolak oleh hadits tersebut.
Adapun jarak jauhnya perjalanan safar dijelaskan dalam hadits berikut :
“Adalah Rasulullah saw. apabila keluar perjalanan 3 mil (atau 3 farsakh), beliau shalat (qashar) 2 raka’at.” (Hadits Riwayat Muslim)
Dikuatkan pula dengan riwayat dari Ibnu ‘Umar, sahabat Nabi, ia berkata : “Boleh diqashar shalat dalam perjalanan 3 mil.” (Hadits Riwayat Ibnu Abi Syaibah)
Keterangan jarak :
1 mil = 1.609 meter, 3 mil = 4.827 meter (± 5 km)
1 farsakh = 3 mil, 3 farsakh = 14.481 meter (± 14,5 km)
Bagaimana dengan shalat sunnah bagi musafir? Boleh atau tidak dikerjakan? Jawabnya ada di bawah ini :
Dari Hafshi bin ‘Ashiim, ia berkata : “Ketika saya menderita sakit, Ibnu ‘Umar datang menjengukku. Aku bertanya kepadanya tentang shalat sunnah dalam perjalanan. Maka katanya : ‘Aku pernah menemani Rasulullah saw. dalam perjalanan. Aku tidak melihat beliau shalat sunnah. Andaikata aku shalat sunnah, lebih baik aku cukupkan saja (shalat fardhu). Allah Ta’ala berfirman bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. itu teladan yang baik bagimu’.” (Hadits Riwayat Muslim)
Shalat yang dimaksud dalam hadits ini ialah shalat sunnah rawatib, yaitu shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat fardhu, tidak termasuk shalat sunnah yang lainnya. Waktu kita di Masjidil Haram kita melakukan shalat sunnah di Maqam Ibrahim dan Hijr Ismail.

Sumber : Habib Hassan bin Ahmad Al-Mahdaly (Radio Dakta 107.0 FM)

IBADAH SHALAT JUM'AT


Ibadah shalat Jum’at adalah fardhu ‘ain untuk orang-orang yang beriman saja. Hanya golongan yang tidak diwajibkan, yaitu perempuan, anak-anak, hamba sahaya dan orang yang sakit. Allah berfirman :
“Hari orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk shalat Jum’at, hendaklah kamu bersegera ke dzikrullah (mengingat Allah) dan tinggalkan jual beli. Yang demikian itu baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. 62:9)
Penjelasan ayat :
1. Kalimat “Yaa ayyuhal ladzina aamanuu idzaa nuudia lish shalaati” ini menunjukkan yang diseru shalat berjama’ah di masjid utamanya laki-laki.
2. Kalimat “idzaa nuudia lish shalaati” ini sebagai dalil bahwa anak-anak kecil tidak terpanggil karena belum taklif.
3. Kalimat “fash’au” (maka pergilah) ini sebagai dalil bahwa yang berjum’at itu harus orang yang sehat wal’afiat, sehingga oran gsakit tidak terpanggil.
4. Kalimat “dzikrullah” (mengingat Allah) maksudnya shalat Jum’at itu sendiri dan wajib mendengarkan khutbah.
5. Kalimat “wadzarul bai” maksudnya semua aktivitas keduniaan harus kita tinggalkan, kecuali oleh hamba sahaya, perempuan, anak-anak kecil dan orang sakit, tidak wajib berjum’at.
Tentang ibadah shalat Jum’at, Rasulullah saw. menjelaskan kembali dalam haditsnya : “Jum’at itu suatu kewajiban yang penting atas tiap-tiap orang Islam dengan berjama’ah, melainkan empat, yaitu hamba sahaya, perempuan, anak-anak kecil dan orang sakit.” (Hadits Riwayat Abu Dawud)
A.  Dalil kewajiban sebelum shalat Jum’at
Rasulullah saw. bersabda :
“Jika seorang dari kamu hendak shalat Jum’at, hendaklah dia mandi.” (Hadits Riwayat Muslim)
“Mandi pada hari Jum’at itu wajib atas tiap-tiap orang baligh dan hendaklah ia membersihkan gigi dan menggunakan harum-haruman kalau ia punya.” (Hadits Riwayat Bukhari)
“Mandilah pada hari Jum’at dan cucilah kepala kamu walaupun kamu tidak junub dan pakailah harum-haruman.” (Hadits Riwayat Bukhari)
B. Tata cara mandi Jum’at
      Tata cara mandi Jum’at yang diperintahkan Rasul seperti cara mandi janabat. Dalilnya sebagai berikut :
      Dari Abi Hurairah r.a., sesungguhnya Rasulullah bersabda : “Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at secara mandi janabat, kemudian ia pergi shalat Jum’at, sama dengan berqurban seekor unta.” (Hadits Riwayat Bukhari)
      “Barangsiapa mandi pada hari Jum’at dan ia pakai harum-haruman jika ia punya dan ia pakai pakaian berbaiknya, kemudian ia keluar dengan merendah diri hingga datang ke masjid, lalu shalat kalau ia suka dan dia tidak mengganggu orang, kemudian ia diam, apabila datang imamnya, hingga ia shalat, niscaya yang demikian itu penebus dosanya diatara dua Jum’at itu.” (Hadits Riwayat Ahmad)
      Dari beberapa hadits tersebut di atas, nyatalah bahwa bersuci dengan cara mandi hukumnya wajib dan dianjurkan dengan cara memakai parfum kalau ada serta memakai pakaian yang terbaik.
C.  Waktu Jum’at
      Telah berkata Anas : “Adalah Rasulullah saw. shalat Jum’at pada waktu condong matahari.” (Hadits Riwayat Bukhari)
D.  Ma’mum/jama’ah dilarang berbicara
      “Apabila engkau berkata kepada sahabatmu : ‘Diam!’ Pada hari Jum’at, padahal imam sedang berkhutbah, sesungguhnya engkau telah berbuat sia-sia.” (Hadits Riwayat Al-Jama’ah, kecuali Ibnu Majah)
      Dari Ibnu ‘Abbas r.a., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : “Barangsiapa berkata-kata pada hari Jum’at, sedangkan imam sedang berkhutbah, maka ia seperti keledai memikul kitab-kitab dan orang yang berkata kepadanya : ‘Diam!’ Tidak ada baginya Jum’at.” (Hadits Riwayat Ahmad)
E.  Adzan Jum’at
      Menurut riwayat yang shahih bahwa cara melaksanakan adzan pada hari Jum’at hanya sekali saja sebagaimana dijelaskan oleh Sa’ib bin Yazid dalam hadits berikut :
      Sa’ib bin Yazid berkata : “Adzan pada hari Jum’at itu terjadi pada zaman Nabi saw., Abu Bakar dan ‘Umar, dimulai saat imam duduk di atas mimbar.” (Hadits Riwayat Bukhari)
F.  Isi Khutbah
      Telah berkata Jabir : “Adalah Rasulullah saw. berkhutbah dengan berdiri dan ia duduk antara dua khutbah dan ia baca beberapa ayat dan ia ingatkan manusia.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Muslim)
      Telah berkata Jabir : “Adalah Rasulullah saw. tidak memanjangkan nasihat pada hari Jum’at. Khutbahnya itu hanya beberapa kalimat yang mudah.” (Hadits Riwayat Abu Dawud)
      Telah berkata Ibnu Aufa : “Biasanya Rasulullah saw…. dan beliau memanjangkan shalat dan memendekkan khutbah.” (Hadits Riwayat Nasa’i)
G.  Sifat-sifat Khatib
      Telah berkata Jabir : “Adalah Rasulullah saw. apabila berkhutbah, merah dua matanya dan keras suaranya dan sangat berangnya (kelihatan seperti orang marah) hingga seolah-olah ia seorang pengancam laskar yang berkata “ ‘Ingat, musuh akan menyerbu kamu pada waktu pagi, pada waktu petang’.” (Hadits Riwayat Muslim)
      Dari Jabir bin Samurah, bahasanya Nabi saw. berkhutbah dengan berdiri, kemudian beliau duduk, kemudian berdiri, lalu berkhutbah dengan berdiri, maka barang siapa memberitahukan kepadamu bahwa Nabi berkhutbah sambil duduk, sungguh ia telah berdusta. (Hadits Riwayat Muslim)
H.  Jumlah jama’ah shalat Jum’at
      Bahwa Nabi saw. berdiri berkhutbah pada hari Jum’at. Tiba-tiba datang kafilah membawa barang dagangan dari Syam, maka orang-orang itu berlari ke situ memburu yang tak perlu hingga yang tinggal di masjid hanya 12 orang laki-laki. Lalu itu turunlah ayat ini yang (diturunkan) hari Jum’at : “Dan apabila mereka melihat barang-barang dagangan atau tontonan, mereka berlari ke situ dan mereka meninggalkan engkau berdiri sedang khutbah.” (Hadits Riwayat Muslim)
      Jumlah jama’ah Jum’at tidak mesti 40 orang, karena menurut riwayat tersebut Nabi saw. ibadah shalat Jum’at dengan jama’ah 12 orang dan bukan keharusan paling sedikit 12 orang.
      Adapun hadits yang menerangkan bahwa cara ibadah shalat Jum’at itu mesti 40 orang, sebagai berikut :
      “Pada setiap 40 dan di atasnya ada shalat Jum’at, ‘Idul Adha dan ‘Idul Fitri.” (Hadits Riwayat Daruquthni)
      Hadits ini ditolak oleh semua ahli hadits, bahkan Imam Ahmad mengatakan dusta atau palsu. Yang penting ibadah shalat Jum’at dilakukan dengan cara berjama’ah. Yang disebut jama’ah dalam ibadah shalat bila ada dua orang atau lebih. Semakin banyak yang berjama’ah, tentu semakin baik sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut :
      Rasulullah saw. bersabda : “Shalat seseorang ditemani satu orang lebih baik daripada shalat sendiri; shalat yang ditemani dua orang lebih baik dari pada shalat yang ditemani satu orang; dan mana yang lebih banyak itulah yang lebih disukai oleh Allah Ta’ala.” (Hadits Riwayat Ahmad, bu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
I.   Ancaman meninggalkan shalat Jum’at tanpa udzur
      “Sesungguhnya aku ingin menyuruh mewakilkan kepada seseorang untuk menjadi imam (pada shalat Jum’at), kemudian aku akan membakar rumah-rumah orang yang tidak menghadiri shalat Jum’at.” (Hadits Riwayat Muslim)
      “Hendaklah berhenti kaum-kaum dari meninggalkan shalat Jum’at atau Allah akan menutup hati mereka, kemudian Allah jadikan mereka orang yang lalai.” (Hadits Riwayat Muslim dan Ibnu Majah)
      “Barang siapa meninggalkan shalat Jum’at sebanyak 3 kali karena sengaja atau menganggap remeh, Allah akan menutup hatinya.” (Hadits Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
      Dari Ka’ab bin Malik r.a., Rasulullah saw. bersabda : “Allah akan menutup hati orang-orang yang tidak menghadiri shalat Jum’at, sedang mereka mendengarkan suara adzan, kemudian mereka menjadi orang-orang yang lalai.” (Hadits Riwayat Thabrani)
      Dari Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Zararah, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda : “Barang siapa mendengar adzan pada hari Jum’at, tetapi tidak mendatanginya, kemudian mendengarnya, tapi tidak mendatanginya, kemudian mendengarnya, tapi tidak mendatanginya, maka Allah akan menutup hatinya dan menjadikan hatinya (sebagaimana) hati orang munafik.” (Hadits Riwayat Baihaqi)
J.  Shalat Sunnah Intizhaar
      Intizhaar artinya menunggu. Maksudnya melaksanakan ibadah shalat semampu kita sebelum imam/khatib dalam ibadah shalat Jum’at naik mimbar. Rasulullah bersabda : “Barang siapa mandi pada hari Jum’at, lalu ia datang ke tempat shalat, kemudian ia shalat semampunya, kemudian diam hingga selesai imam berkhutbah, kemudian ia shalat Jum’at bersama imam, niscaya diampuni dosanya di antara dua Jum’at dan ditambah tiga hari.” (Hadits Riwayat Muslim)
K.  Shalat sunnah ba’diyah Jum’at
      Sesudah shalat Jum’at dianjurkan shalat sunnah dua raka’at atau empat raka’at. Rasulullah saw. bersabda :
      Dari Ibnu ‘Umar r.a., ia berkata : “Adalah Rasulullah saw. shalat dua raka’at setelah Jum’at di rumahnya.” (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Nasa’i dan Ibnu Majah)
      Dari Abi Hurairah r.a. : “Rasulullah saw. bersabda : ‘Jika salah seorang di antara kamu shalat Jum’at, hendaklah shalat empat raka’at sesudahnya (shalat sunnah ba’diyah).” (Hadits Riwayat Muslim, Nasa’i dan Ibnu Majah)

  
Sumber : Habib Hassan bin Ahmad Al-Mahdaly (Radio Dakta : 107.0 FM)

SHALAT BERJAMA'AH


TATA TERTIB DAN CARA IBADAH SHALAT BERJAMA’AH
A. Hukum cara ibadah shalat berjama’ah
1.   Dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a., sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda : “Shalat jum’at itu lebih utama daripada shalat munfarid (sendirian) dengan dua puluh tujuh derajat.” (Hadits Riwayat Muttafaq ‘alaih)
2.   Dari Abi Hurairah r.a., sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda : “Demi yan diriku ada dalam tangan kekuasaan-Nya, sungguh aku bermaksud memerintahkan mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku memerintahkan shalat, lalu adzan (untuk shalat), kemudian aku memerintahkan seorang laki-laki mengimaminya, lalu aku mendatangi mereka (laki-laki) yang tidak mengikuti shalat (jama’ah), maka aku bakar rumah-rumah mereka. Dan demi yang diriku ada dalam tangan kekuasaan-Nya, andai salah seoran gdiantara mereka tahu bahwa ia akan mendapat daging yang empuk atau dua tulang yang baik, pasti mereka akan ikut shalat jama’ah.” (Hadits Riwayat Muttafaq ‘alaih)
3.   Dan darinya (Abi Hurairah), ia berkata : Telah datang seorang laki-laki buta kepada Nabi saw. seraya berkata : “Ya Rasulullah, saya tidak mempunyai penuntun yang dapat mengantarku ke masjid”. Maka Nabi memberikan kemudahan kepadanya (untuk tidak datang ke masjid). Akan tetapi, ketika laki-laki itu berpaling (untuk pergi), Rasul memanggilnya agar kembali seraya bersabda : “Apakah engkau dengar panggilan (adzan) untuk shalat?” Laki-laki itu menjawab : “Ya”. Rasulullah bersabda : “Penuhilah olehmu panggilan tersebut.” (Hadits Riwayat Muslim)
Penjelasan :
Hadits no. 1 menunjukkan bahwa hukum cara ibadah shalat berjama’ah itu sunnah berdasarkan ungkapan “lebih utama daripada shalat munfarid.”
Hadits no. 2 tidak menunjukkan wajibnya cara ibadah shalat berjama’ah, tetapi hanya merupakan anjuran yang keras (sunnah mu’akkad) mengingat Nabi tidak jadi membakar rumah-rumah mereka dan kenyataannya mereka tidak mendapat sanksi apa-apa.
Hadits no. 3 juga tidak menunjukkan wajibnya cara ibadah shalat berjama’ah, tetapi titik tekannya ialah agar berusaha datang ke masjid, karena andai yang ditekankan itu wajib berjama’ahnya, tentu Nabi akan memerintahkan berjama’ah di rumahnya.
Haditsh-hadits di atas tidak bertentangan. Jadi hukum ibadah shalat berjama’ah shalat fardhu yang lima waktu adalah sunnah mu’akkad, ditambah kuatnya yang mana pernah ada seorang sahabat yang ketinggalan ibadah shalat berjama’ah, kemudian Nabi menganjurkan untuk bersedekah atasnya, ialah menyertai shalat dengannya.
4.   Dari Ibnu ‘Abbas r.a., dari Nabi saw., beliau bersabda : “Siapa yang mendengar seruan (adzan) tetapi tidak datang (untuk shalat), maka tidak ada shalat baginya kecuali ada udzur (alasan kuat).” (Subulus Salam)
B. Tempat berdiri (posisi) mak’mum
1.   Dari Ibnu ‘Abbas r.a., ia berkata : “Saya pernah shalat bersama Rasulullah saw. pada suatu malam, lalu saya berdiri di sebelah kirinya, maka Rasulullah saw. memegang kepalaku dari belakang, kemudian beliau menempatkanku di sebelah kanannya.” (Hadits Riwayat Bukhari – Muslim)
2.   Menurut cara atau pendapat sebagian pengikut Asy-Syafi’i, bahwa ma’mum dianjurkan agar berdiri tidak jauh di belakang imam. Hanya saja Ibnu Juraij telah meriwayatkan, ia berkata : “Aku bertanya kepada ‘Atha’ : ‘Seorang laki-laki shalat bersama seorang laki-laki lain, dimana ia mesti berdiri?’ Ia (‘Atha’) menjawab : ‘Disampingnya’. Aku bertanya lagi : ‘Apakah ia sejajar dengan imam, sehingga satu shaff bersamanya ataukah mundur salah satunya?’ Ia (‘Atha’) menjawab : ‘Ya, jangan jauh-jauh dan mesti rapat dengan imam’.” (Subulus Salam II : 31)
      Sebagian pengikut Imam Syafi’i menganjurkan kepada ma’mum agar berdiri di belakang imam sedikit, tetapi sepengetahuan kami (Asy-Syaukani), hal itu tidak ada dalilnya. (Nailul Authar III : 161)
      Dalam Al-Muwaththa’ dari Abdillah bin Mas’ud, ia berkata : “Aku masuk rumah ‘Umar bin Khaththab waktu zuhur, kemudian aku mendapatkan ‘Umar sedang shalat, lalu aku berdiri di belakangnya, kemudian ia merapatkanku hingga posisiku sejajar dengan beliau, yaitu berada di sebelah kanannya.” (Nailul Authar III : 161)
3.   Menurut cara atau pendapat Imam Syafi’i, apabila seorang laki-laki mengimami seorang laki-laki lain, maka hendaklah dengan cara imam menempatkan ma’mum di sebelah kanannya. Apabila mengimami seorang waria atau perempuan, maka hendaklah dengan cara keduanya ditempatkan (posisi/berdiri) di belakang imam, tidak sejajar. (Al-Umm I : 149)
4.   Menurut sunnah (Nabi), hendaklah seorang laki-laki (ma’mum) berdiri di sebelah kanan (sejajar), berdasarkan hadits riwayat Ibnu ‘Abbas (Al-Muhadzab I : 99)
5.   Dari Anas r.a., bahwa Rasulullah saw. telah mengimaminya dan seorang perempuan diantara mereka. Kemudian Nabi menermpatkan (Anas) di sebelah kanannya dan menempatkan perempuan di belakangnya (Hadits Riwayat Abu Dawud, Ainu Al-Ma’bud II : 318)
6.   Dari Anas r.a., ia berkata : “Rasulullah saw. pernah shalat, kemudian aku dan anak yatim berdiri di belakangnya, sedangkan Ummu Sulaim di belakang kami.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
Keterangan :
Berdasarkan hadits-hadits tersebut di atas, maka posisi ma’mum itu adalah sebagai berikut :
Jika  ma’mum itu laki-laki hanya berdua dengan imam (laki-laki), tempat atau posisi ma’mum itu hendaklah berada di sebelah kanan imam dengan cara sejajar dan merapat (tidak mundur di belakang imam). Demikian pula posisi ma’mum perempuan jika hanya berdua dengan imam perempuan.
Jika ma’mum itu seorang perempuan, sedangkan imamnya laki-laki, posisi ma’mum hendaklah berada di belakang imam (sekalipun suami-isteri).
Jika ma’mum terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka dilakukan dengan cara ma’mum laki-laki berdiri sejajar dengan imam (di sebelah kanan), sedangkan ma’mum perempuan berada di belakangnya.
Jika ma’mumnya terdiri dari 2 orang laki-laki dan seorang perempuan, maka dilakukan dengan cara ma’mum laki-laki berdiri di belakang imam, sedangkan ma’mum perempuan berada di belakang ma’mum laki-laki dan demikian seterusnya.
7.   Dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi saw., beliau bersabda : “Hendaklah mengikuti aku (dalam shaf shalat) mereka yang diwasa dan yang berakal, kemudian orang yang mengikuti mereka (kedudukannya) dan awas kamu ribut seperti ributnya suara di pasar.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Muslim, Nailul Authar III : 205)
8.   Dari ‘Abdurrahman bin Ghanam, ia berkata : Abu Malik Al-Asy’ari telah berkata : “Tidaklah mesti aku ceritakan kepadamu cara shalat Nabi saw?” Selanjutnya ia berkata : “Kemudian Nabi memerintahkan iqamah, lalu beliau menempatkan shaf laki-laki dewasa, kemudian anak-anak di belakang shaf mereka, setelah itu barulah Nabi shalat bersama mereka.” (Hadits Riwayat Abu Dawud)
9.   Adi Abi Hurairah, ia berkata : Rasulullah saw. telah bersabda : “Sebaik-baiknya shaf laki-laki adalah shaf di depan dan sejelek-jeleknya ialah shaf yang belakang. Dan sebaik-baiknya shaf perempuan adalah shaf yang belakang serta sejelek-jeleknya shaf perempuan adalah shaf yang depan.” (Hadits Riwayat Al-Jama’ah, kecuali Al-Bukhari; Nailul Authar III : 208)
10. Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah saw. telah bersabda : “Jadikanlah imam di tengah-tengah kamu dan tutuplah (isilah) tempat yang kosong.” (Hadits Riwayat Abu Dawud)
Keterangan :
Berdasarankan cara hadits ini, berarti posisi imam itu senantiasa berada di tengah-tengah ma’mum dari mulai jumlah ma’mum dua orang sampai seterusnya, jadi tidak dengan cara mendahulukan atau memenuhi sebelah kanan imam dahulu, sedangkan sebelah kiri imam kosong/tidak diisi.
C. Cara-cara ma’mum mengikuti imam
1.   Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata : Rasulullah saw. telah bersabda : “Sesungguhnya diangkat imam itu ialah agar disempurnakan dengannya. Apabila imam bertakbir, bertakbirlah kamu, tetapi janganlah kamu bertakbir sebelum imam selesai bertakbir. Apabila imam ruku’, hendaklah kamu ruku’. Apabila imam mengucapkan ‘sami’allahu li man hamidah’, ucapkan ‘allahumma rabbanaa lakal hamdu’. Apabila imam sujud, hendaklah kamu sujud dan jangan dulu sujud sebelum imam sujud. Apabila imam shalat berdiri, hendaklah kamu shalat sambil berdiri dan apabila imam shalat sambil duduk, hendaklah kamu semua shalat sambil duduk.” (Hadits Riwayat Abu Dawud I : 142)
      Berdasarkan cara hadits ini, ma’mum tidak boleh melebihi yaitu mendahului imam atau tertinggal atau menyertai imam, tetapi senantiasa ma’mum mengikuti imam.
2.   Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata : Rasulullah saw. telah bersabda : “Tidakkah takut salah seorang diantara kamu jika mengangkat kepalanya sebelum imam, Allah akan mengganti kepalanya dengan kepala himar atau Allah mengganti rupanya dengan rupa (wajah) himar?” (Hadits Riwayat Al-Jama’ah)
3.   Dari Anas r.a., ia berkata : “Rasulullah saw telah bersabda : ‘Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah imam kamu. Janganlah kamu mendahuluiku pada waktu ruku’ dan sujud, berdiri, duduk dan dalam bersalam.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Muslim)
D. Imam dan ma’mum mengucapkan aamiin bersama-sama
1.   Dari Abi Hurairah r.a., bahwasanya Nabi saw. bersabda : “Apabila imam mengucapkan aamiin, hendaklah kamu mengucapkan juga aamiin, karena sesungguhnya siapa yang mengucapkan aamiin – bersama dengan ucapan aamiin malaikat – niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.” (Hadits Riwayat Al-Bukhari, Fathu Al-Bari II : 262)
     Jumhur ulama menjelaskan … bahwa yang dimaksud dengan kalimat “idzaa ammana” (apabila imam membaca aamiin) ialah apabila imam hendak membaca aamiin, agar bersama-sama aamiin imam dengan aamiin ma’mum. (Fathu Al-Bari II : 262)
2. Dari Abi Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Apabila imam membaca ‘ghairil maghdhuubi‘alaihim wa ladh dhaalliin’, ucapkanlah ‘aamiin’, karena siapa yang bersesuaian ucapan aamiinnya dengan ucapan aamiin malaikat, niscaya diampuni dosa-dosanya.” (Hadits Riwayat Malik dalam Al-Mughni I : 564)
3. Menurut An-Nawawi rahimahullaah, hadits-hadits di atas menunjukkan disunnahkannya aamiin setelah Al-Fatihah, baik imam, ma’mum atau yang shalat munfarid (sendirian). Seyogyanya aamiin ma’mum itu bersamaandengan aamiin imam, jangan sebelumnya atau sesudahnya, mengingat sabda Nabi saw. : “Apabila imam membaca ‘wa ladh dhaalliin’, ucapkan aamiin”. Adapun riwayat “idzaa ammana fa amminuu” maksudnya ialah apabila imam hendak aamiin. (Fathu Ar-Rabbani III : 205)
4. Dari Abi Hurairah, ia berkata : “Adalah Rasulullah saw. bila membaca ‘ghairil maghdhuubi ‘alaihim wa ladh dhaalliin’, beliau mengucapkan aamiin sehingga orang yang dekat dengan Nabi, yang ada di shaf pertama dapat mendengarnya.” (Hadits Riwayat Abu Dawud)
E.  Yang paling berhak menjadi imam
1. Dari Abi Sa’id, ia berkata : “Rasulullah saw. bersabda ‘Apabila mereka bertiga, hendaklah salah seorang menjadi imam dan yang paling berhak menjadi imam adalah orang yang paling menguasai Al-Qur’an.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Muslim)
2. Dari Abu Mas’ud Al-Anshari, ia berkata : “Rasulullah saw. telah bersabda : ‘Hendaklah mengimami suatu kaum, orang yang paling menguasai Al-Qur’an. Apabila mereka sama dalam penguasaan Al-Qur’an, hendaklah orang yang paling mengetahui  Nabi. Apabila mereka juga sama dalam penguasaan haditsnya, pilih yang lebih dahulu hijrahnya. Apabila mereka bersama-sama hijrahnya, pilih yang lebih dahulu masuk islamnya dan janganlah sekali-kali seseorang mengimami seseorang di tempat kekuasaannya (ditempat menetapnya, domisilinya) dan janganlah seseorang duduk di rumah yang lain (orang lain) di atas hamparan (tikar) khusus pribumi kecuali atas izinnya.” (Hadits Riwayat Muslim)
F.  Perempuan menjadi imam
1. Dari Ummu Waraqah r.a., bahwa Nabi saw. telah memerintah kepadanya (Ummu Waraqah) mengimami penghuni rumahnya (Ummu Waraqah). (Hadits Riwayat Abu Dawud)
2. Adalah ‘Aisyah r.a. pernah mengimami perempuan dan ia berdiri bersama mereka dalam satu shaf. (Fiqhus Sunnah I : 113)
Keterangan :
Mengenai cara atau posisi imam perempuan, ada yang berpendapat imam perempuan mesti berada di tengah-tengah ma’mum, sejajar dengan mereka. Sementara ada yang berpendapat bahwa imam perempuan sama saja dengan imam laki-laki berdiri di depan ma’mum. Menurut pendapat Almarhum Al-Ustadz K.H.E. ‘Abdurrahman, sebagai berikut :
Dimana imam mesti berdiri?
Imam laki-laki atau perempuan mempunyai ketentuan yang sama, yaitu berdiri di depan ma’mum, kecuali bila ma’mumnya hanya satu orang, maka ma’mum berdiri di sebelah kanan imam, sejajar.
Adapun arti kata “shaf” ialah garis. Misalkan imam berkata : “Bereskan shaf kamu sekalian!” maksudnya adalah rapikan garis/barisannya. Jadi, apabila ada keterangan imam berdiri di tengah-tengah mereka dalam shaf, tidak berarti imam sejajar, tetapi garis tempat imam berdiri itu di tengah. Tidak ada yang mengartikan bahwa imam perempuan mesti sejajar dengan ma’mum sekalipin ma’mumnya banyak.
Imam selalu harus berdiri bukan di sebelah kiri atau kanan, melainkan di tengah-tengah garis. Jadi, bila ma’mum ada enam orang, imam berdiri di depan mereka, di kanan belakang imam tiga orang, di sebelah kiri belakang imam juga tiga orang ma’mum.
Ibnu Hazmin dalam Al-Muhala 4 : 220 berkata, sehubungan dengan kata-kata fish shiffi (dalam garis) : “Saya sama sekali tidak mengetahui (mendapatkan) hujjah untuk melarang perempuan berdiri di depan dan hukumnya pada pandangan saya dia berdiri di depan ma’mum perempuan.”
Dalam Subulus Salam diterangkan :
“Apabila perempuan shalat dan imamnya perempuan, shaf mereka seperti shaf laki-laki, yaitu shaf-shaf yang paling utama adalah shaf yang pertama.”
Tidak ada yang mengartikan kata-kata “dalam shaf” itu, imam sejajar dengan ma’mum secara mutlak. Imam Syafi’i menyuruh supaya imam perempuan sejajar dengan shaf yang pertama, tetapi Imam Syafi’i sendiri menerangkan dalam Al-Um I : 145 : “Apabila seorang perempuan (imam) berdiri di depan perempuan-perempuan (ma’mum), shalatnya imam dan dibelakangnya sah (memadai).”
Perkataan Imam Syafi’i ini suatu dalil tentang tidak adanya hujjah yang shahih, menthaksis imam perempuan mesti sejajar di tengah-tengah shaf yang pertama.
Dalam hadits riwayat Abu Dawud, Rasulullah saw. memerintahkan dengan mutlak “washithu imama”, artinya “Tempatkanlah imam di tengah-tengah”. Perintah tersebut tidak berarti bahwa imam laki-laki atau perempuan berdiri di tengah-tengah sejajar dengan ma’mum, tetapi “muqabbilun li washathis shaffi”, artinya searah dengan tengah-tengah shaf para ma’mum. (Bustanul Ahbar I : 254 – Risalah Wanita halaman 78-81)
G.  Perempuan turut ibadah shalat berjama’ah di masjid
1. Dari Ibnu ‘Umar r.a., dari Nabi saw., beliau bersabda : “Jika isteri-isteri kalian meminta izin kalian untuk pergi ke masjid pada malam hari, izinkanlah mereka.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)
     Dalam riwayat lain : “Jangan kalian larang isteri-isteri kalian untuk pergi ke masjid, tetapi (memang) shalat di rumah adalah lebih utama bagi mereka (perempuan).” (Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)
2. Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw. telah bersabda : “Jangan kalian halang-halangi hamba Allah (perempuan) untuk datang ke masjid, melainkan hendaklah mereka keluar dengan pakaian sederhana.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)
H.  Anak kecil menjadi imam
      Dari ‘Amr bin Salamah r.a., ia berkata : Ayahku telah berkata : “Aku datang kepadamu betul-betul dari sisi Nabi saw. Nabi saw. bersabda : ‘Apabila datang waktu shalat, hendaklah salah seorang diantaramu adzan dan hendaklah menjadi imam orang yang paling banyak hafal Al-Qur’annya’, dan ia berkata : ‘lalu mereka melihat dan ternyata tidak ada seorang pun yang paling banyak hafal Al-Qur’an daripadaku, kemudian mereka mempersilahkanku untuk menjadi imam. Sedangkan pada waktu itu aku baru berumur enam atau tujuh tahun’.” (Hadits Riwayat Al-Bukhari, Subulus Salam II : 27)
I.   Orang buta menjadi imam
      Dari Anas r.a., sesungguhnya Nabi saw. mengangkat Ibnu Umi Maktum untuk mengimami orang-orang, padahal dai seorang yang buta. (Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)
J.   Laki-laki mengimami perempuan
      Abu Ya’la dan At-Thabrani dalam Al-Ausath telah meriwayatkan dengan sanad yang hasan, bahwa Ubay bin Ka’ab telah datang kepada Nabi saw., lalu bertanya : “Ya Rasulullah, tadi malam saya mengerjakan sesuatu.” Rasul bertanya : “Apa yang telah kamu kerjakan itu?” Ia menjawab : “Perempuan-perempuan di rumah (bersamaku), mereka berkata : ‘Sesungguhnya kamu dapat membaca Al-Qur’an, sedang kami tidak dapat membaca, maka shalatlah bersama kami.’ Aku pun shalat delapan raka’at ditambah witir, maka Nabi saw. diam (tidak menjawab).” Ia berkata : “Kami mengira/menduga bahwa diamnya Nabi berarti setuju”.    (Fiqhus As-Sunnah II : 112)
K.  Imam yang dibenci kaumnya
      Dari Ibnu ‘Abbas, dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda : “Tiga orang yang tidak akan diangkat (diterima) shalatnya di atas kepalanya, walau sejengkal, ialah laki-laki yang mengimami suatu kaum padahal mereka membencinya dan seorang perempuan yang tidur dalam keadaan suaminya marah kepada isterinya serta dua orang bersaudara yang saling bermusuhan.” (Hadits Riwayat Ibnu Majah, menurut Al-‘Iraqi sanadnya hasan, Fiqh As-Sunnah)
L.  Imam meringankan shalatnya
1. Dari Abi Hurairah r.a., bahwasanya Nabi saw. bersabda : “Apabila salah seorang di antara kamu mengimami shalat, ringkaskanlah, karena di antara mereka ada yang lemah, sakit dan tua. Akan tetapi, jika shalat sendiri (munfarid), panjangkanlah (bacaannya) sekehendaknya.” (Hadits Riwayat Al-Jama’ah, kecuali Ibnu Majah)
2. Dari Anas, dari Nabi saw., beliau bersabda : “Sesungguhnya aku shalat, sedang aku bermaksud memanjangkan bacaan, lalu aku mendengar tangisan seorang anak, kamudian aku mempersingkat shalatku, karena aku tahu akan mengganggu ibunya tersebab tangisannya itu.” (Hadits Riwayat Al-Jama’ah, kecuali Abu Dawud, Nailul-Authar III : 154)
M. Tasbih dan tepuk tangan
Dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi, dari Nabi saw., beliau bersabda : “Siapa yang terganggu (terlupa) sesuatu dalam shalatnya, maka bacalah ‘subhaanallaah’, sesungguhnya tepuk tangan (cara memberi tahu) untuk perempuan dan tasbih (subhanallaah) untuk laki-laki.” (Hadits Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i; Fiqhus As-Sunnah II : 162)
N.  Cara mengingatkan imam (yang lupa bacaan)
      Dari Ibnu ‘Umar, sesungguhnya Nabi saw. pernah shalat, lalu beliau membaca Al-Qur’an, tetapi beliau keliru. Tatkala selesai shalat beliau bersabda kepada ayahku : “Apakah engkau turut shalat bersamaku?” Ia menjawab : “Ya”. Lalu Nabi bersabda : “Mengapa kamu tidak mengingatkanku?” (Hadits Riwayat Abu Dawud dan lain-lain serta rawinya orang-orang terpercaya; Fiqhu Al-Sunnah II : 163)
O.  Merapatkan/meluruskan shaf
1. Dari Anas, bahwa Nabi saw. bersabda : “Rapatkanlah barisanmu, karena merapatkan barisan juga termasuk kesempurnaan shalat.” (Hadits Riwayat Bukhari – Muslim; Nailul Authar III : 213)
2. Dari Anas, ia berkata : “AdalahRasulullah saw. suka menghadap terlebih dahulu kepada kami (wajahnya) sebelum ia bertakbir, seraya mengatakan : ‘Rapatkanlah dan luruskanlah shafnya’.” (Hadits Riwayat Bukhari – Muslim)
3. Dari Abi Mas’ud, ia berkata : “Adalah Rasulullah saw. suka menepuk pundak kami pada waktu (sebelum) shalat dengan mengatakan : ‘Rapatkanlah atau luruskanlah dan janganlah berselisih (tidak seragam), akibatnya akan berselisih pula hati kamu. Hendaklah mengikuti dalam shaf mereka yang dewasa dan yang berakal (berilmu), kemudian yang berdekatan dengan mereka kedudukannya.” (Hadits Riwayat Muslim)
P.  Adanya penghalang/pembatas antara imam dan ma’mum
      Dari ‘Aisyah, ia berkata : “Kami mempunyai hamparan/tikar yang biasa kami bentangkan pada waktu siang dan kami jadikan dinding pada waktu malam, lalu Rasulullah saw. shalat di atasnya pada suatu malam, sedang orang-orang mendengar bacaannya, lalu mereka shalat mengikuti shalat Nabi. Pada malam kedua orang bertambah banyak, kemudian Nabi melihat mereka seraya berkata : ‘Lakukanlah pekerjaan itu dalam batas kemampuan kamu, karena Allah tidak akan merasa bosan atau jenuh’.” (Hadits Riwayat Ahmad; Nailul Authar III : 321)
Q. Tempat imam lebih tinggi dari pada ma’mum atau sebaliknya
1. Dari Hammam, bahwa Hudzalifah pernah mengimami orang-orang di Madain di atas sebuah toko, kemudian Abu Mas’ud memegang bajunya, lalu menariknya ketika selesai shalatnya. Ia menyatakan : “Tidakkah kau tahu bahwa mereka dilarang berbuat itu?” Hudzalifah menjawab : “Ya, aku sadar ketika engkau menariknya.” (Hadits Riwayat Abu Dawud)
2. Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : “Rasulullah saw. telah melarang imam berdiri di tempat yang tinggi, sedangkan orang-orang (ma’mum) berada di bawahnya.” (Hadits Riwayat Ad-Daraquthuni, Fiqhu As-Sunnah I : 202)
Keterangan :
Berdasarkan hadits tersebut, imam tidak boleh berada di tempat yang lebih tinggi dari pada ma’mum. Adapun tempat ma’mum lebih tinggi daripada imam, maka tidak apa-apa mengingat ada hadits riwayat Sa’id bin Mashur, Asy-Syafi’i dan Al-Baihaqi, dari Abu Hurairah, bahwa dia pernah shalat di lantai atas masjid mengikuti shalatnya imam (berjama’ah). Lihat Fiqhu As-Sunnah I : 240)
R.  Muqimin berma’mum kepada musafir
1. Dari ‘Imran bin Hushain, ia berkata : “Tidaklah Rasulullah saw. bepergian, kecuali shalat dua raka’at sampai beliau kembali dan beliau pernah tinggal di Makkah waktu Fathul Makkah selama 18 malam, beliau shalat dua raka’at-dua raka’at terkecuali maghrib, kemudian beliau menyatakan : ‘Wahai penduduk Makkah, shalatlah dua raka’at lagi. Sesungguhnya kami kaum yang berada di perjalanan’.” (Hadits Riwayat Ahmad)
2. Dari ‘Umar, bahwasanya ketika tiba di Makkah, ia shalat dengan mereka (penduduk Makkah) dua raka’at, kemudian (‘Umar) berkata : “Wahai penduduk Makkah, sempurnakan shalat kalian, karena kami kaum sedang dalam perjalanan.”
Menurut riwayat dari Thalq bin ‘Ali : “Tidak sah shalat sendirian di belakang shaf.”
3. At-Thabrani menambahkan pada hadits Wabishah : “Mengapa engkau tidak masuk bersama mereka (dalam shaf terdepan) atau menarik seseorang (dari shaf depan untuk menyertainya)?” (Subulus Salam II : 32)
4. Sesungguhnya riwayat hadits-hadits di atas saling menguatkan serta tidak saling menjatuhkan. Kesemuanya bersandar/bersanad pada yang shahih serta rawi-rawinya tsiqat (Sunan Imam Tarmidzi dengan Syarah Ahmad Muhammad Syakir I : 45)
     As-Syafi’i mendhaifkan hadits ini, beliau menyatakan : “Andai hadits ini shahih, pasti aku mengatakannya.” Tanggapan itu ditentang Al-Baihaqi – salah seorang pengikut Asy-Syafi’i – menyatakan hal itu bahwa menurutnya hadits tersebut kuat. (Nailul Authar III : 211)
S.  Ma’mum memisahkan diri dari imam
Dari Jabir, ia berkata : “Adakah Mu’adz shalat isya berasama Rasulullah saw., kemudian ia pulang ke kaumnya dan terus mengimami mereka. Pada waktu itu Nabi saw. Mengakhirkan shalatnya, lalu ia shalat bersama beliau, kemudian ia pulang ke kaumnya, kemudian ia membaca surat Al-Baqarah, lalu mundurlah seorang laki-laki kemudian shalat sendirian, maka dikatakan kepadanya ‘kamu munafik, wahai fulan’. Fulan menjawab : ‘Tidak, saya tidak munafik dan saya akan datang kepada Rasulullah saw. Untuk memberitahukan’. Ia pun datang kepada Nabi kemudian ia menceritakan kejadian tersebut kepada Nabi, maka Nabi berkata (kepada Mu’adz) : ‘Apakah engkau mau membuat fitnah, wahai Mu’adz? Bacalah surat ini!’” (Hadits Riwayat Al-Jama’ah; Fiqhu As-Sunnah I : 20)
T.  Musafir berma’mum kepada muqimin
Dari Ibnu’ Abbas, bahwa ia pernah ditanya : “Bagaimana keadaan orang yang safar, shalat dua raka’at apabila sendirian (tidak berjama’ah dengan pribumi) dan empat raka’at bila berjama’ah dengan orang muqimin/pribumi?” Ibnu’ Abbas menjawab : “Bagaimana sesungguhnya kami bila shalat bersama kaum pribumi, kami shalat empat raka’at dan apabila kami pulang (ke penginapan), kami shalat dua raka’at?” Abbas menjawab : “Itu adalah sunnah Abu Qasim (Nabi).” (Hadits Riwayat Ahmad; Nailul Authar III : 189)
U.  Yang shalat fardhu berma’mum kepada yang shalat sunnah
1. Dari Jabir, bahwasanya Mu’adz shalat bersama Nabi saw. shalat ‘Isya’ yang akhir, kemudian ia (Mu’adz) pulang ke kaumnya, kemudian shalat bersama kaumnya, shalat yang itu juga (shalat ‘Isya’ dua kali). (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim; Nailul Authar III : 190)
2. Dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah saw. melihat seorang laki-laki shalat sendirian, lalu Nabi bersabda : “Mengapa tidak ada seorang laki-laki yang bersedekah kepadanya, kemudian shalat bersamanya?” (Hadits Riwayat Abu Dawud; Ainu AL-Ma’bud II : 282)
V.  Masalah dua kali ibadah shalat
1. Dari Jabir bin Yazid bin Aswad, dari ayahnya, bahwa ia pernah shalat bersama Rasulullah saw. pada saat ia masih muda. Setelah beliau shalat, lalu Nabi memanggil keduanya, kemudian mereka datang dalam keadaan gemetar, lalu beliau bertanya : “Apa yang menyebabkan kalian tidak ikut shalat bersama kami?” Keduanya menjawab : “Sungguh kami telah sahalt di tempat kami”. Beliau bersabda : “Jangan kamu berbuat begitu! Jika seseorang di antara kamu telah melaksanakan shalat di tempatnya, kemudian ia mendapatkan imam belum shalat, shalatlah bersamanya dan itu merupakan sunnah baginya.” (Hadits Riwayat Abu Dawud)
2. Boleh ibadah shalat fardhu berma’mum kepada yang ibadah shalat sunnah, begitu juga yang ibadah shalat fardhu kepada yang ibadah shalat fardhu yang lain berdasar hadits riwayat Jabir bin ‘Abdillah r.a., yakni bahwa Mu’adz pernah shalat bersama Rasulullah saw., yaitu ‘Isya’, kemudian ia pulang ke kaumnya Bani Salamah, kemudian ia shalat lagi (mengimami mereka). Dalam hal mana baginya (Mu’adz) ibadah shalat itu sunnah dan bagi mereka merupakan ibadah shalat (wajib) ‘Isya’, ditambah pula berma’mum itu terjadi dalam perbuatan zhahir (gerakan fisik) dan hal itu dapat – sekalipun berbeda niat. Adapun bila seseorang melaksanakan ibadah shalat gerhana di belakang orang shalat shubuh atau shalat shubuh di belakang orang yang shalat gerhana, maka hal itu tidak boleh. (Al-Muhadzdzab I : 98)
W.  Imam yang fasik dan ahli bid’ah
1. Dari Abi Hurairah r.a., sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda : “Mereka (para imam) shalat untuk kamu (ma’mum). Jika shalat imam benar/cocok, hal itu sempurna bagi kamu dan bagi mereka dan manakala mereka salah, bagi kamu (ma’mum) tetap sempurna dan (kesalahan imam) itu tanggung jawab mereka (para imam).” (Hadits Riwayat Bukhari; Nailul Authar III : 197)
2. Hasan pernah ditanya tentang seseorang yang shalat di belakang ahli bid’ah, maka Hasan menjawab : “Shalatlah di belakangnya dan perbuatan bid’ahnya itu tanggung jawabnya.” (Fathu Al-Bari II : 158)
3. Telah berkata ‘Abdu Al-Karim Al-Bakka’ : “Aku pernah mendapatkan sepuluh sahabat Rasulullah saw. ketika mereka shalat di belakang pemimpin-pemimpin yang dzalim.” (Hadits Riwayat Bukhari dalam Tarikhnya)
4. Dari Jabir, dari Nabi saw., beliau besabda : “Janganlah seorang perempuan mengimami laki-laki dan juga seorang Arab gunung mengimami Muhajir dan tidak juga seseorang yang fajir/durhaka mengimami orang mu’min, kecuali andaikata dia memaksakan dengan kekuatannya yang pada (mu’min) takut akan pedang atau cambuknya.” (Hadits Riwayat Ibnu Majah)
Keterangan :
Dalam sanad hadits huruf W. no. 4 tersebut di atas ada seseorang bernama ‘Abdullah bin Muhammad Al-Tamimi. Dia lemah hafalannya dan menurut Bukhari haditsnya munkar. Menurut Ibnu Hibban, tidak boleh berhujjah dengan hadits itu dan menurut Waki’ dia suka memalsukan hadits. (Nailul Authar III : 184)
X.  Shalat sendirian dan di belakang shaf
1. Dari ‘Ali bin Syaiban, bahwa Rasulullah saw. melihat seorang laki-laki shalat sendirian di belakang shaf, kemudian Nabi berdiri sampai laki-laki itu selesai shalatnya, lalu Nabi mengatakan kepadanya : “Ulangi shalatmu, karena tidak sah shalat sendirian di belakang shaf itu.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah; Nailul Authar III : 209)
2. Dari Wabishah bin Ma’bad Al-Juhani r.a., bahwasanya Rasulullah saw. melihat seorang laki-laki shalat sendirian di belakang shaf, lalu beliau memerintahkan kepadanya agar mengulangi shalatnya. (Hadits Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi, serta menghasankan hadits itu dan menshahihkannya Ibnu Hibban)
3. Dan menurut riwayat (pula), dari Thalq abin ‘Ali : “Tidak sah shalat sendirian di belakang shaf”. At-Thabrani menambahkan pada hadits Wabishah : “Mengapa engkau tidak masuk berasama mereka (dalam shaf terdepan) atau menarik seseorang (dari shaf depan untuk menyertainya)?”
4. Pendapat yang kuat dan benar
     Sesungguhnya riwayat hadits-hadits di atas saling menguatkan serta tidak saling menjatuhkan. Kesemuanya bersandar/bersanad pada yang shahih serta rawi-rawinya tsiqat. (Sunan Imam Tirmidzi dengan syarah Ahmad Muhammad Syakir I : 45)
     Syafi’i mendhaifkan hadits ini dan beliau menyatakan : “Andai hadits ini shahih, pasti aku mengatakannya.” Tanggapan itu ditentang Al-Baihaqi – salah seorang pengikut Syafi’i – menyatakan hal itu bahwa menurutnya hadits tersebut kuat. (Nailul Authar III : 211)
5. Menurut Al-Zaila’i dalam Nashbi Ar-Rayah (I : 244), hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya dengan dua sanad tersebut di atas, kemudian menyatakan : “Hilal bin Yasaf mendengarnya dari ‘Umar bin Rasyid dan dari Ziyad bin Abi Al-Ja’di, dari Wabishah bin Ma’bad.” Jadi keuda hadits tersebut kuat.
6. Menurut kebanyakan ashhab Syafi’i (pengikut Syafi’i), seyogyanya seorang menarik seseorang lain untuk menyertainya dan orang yang ditarik itu hendaknya membantunya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan, baik yang datang di tengah-tengah shalat maupun yang datang di permulaan shalat.” (Tuhfat Al-Ahwadzi II : 25)
Y.  Imam menghadap ma’mum setelah shalat
1. Dari Samurah, ia berkata : “Adalah Nabi saw. jika (selesai) shalat, beliau suka menghadap kepada kami.” (Hadits Riwayat Bukhari)
2. Dari Barra’ bin Azib, ia berkata : “Apabila kami shalat di belakang Rasulullah, kami suka berada di sebelah kanannya, lalu beliau menghadap kepada kami (setelah shalat).” (Hadits Riwayat Muslim dan Abu Dawud I : 144)
Keterangan :
Hadits no. 1 menunjukkan cara Rasulullah saw.  setelah selesai melaksanakan ibadah shalatnya menghadap langsung ke arah ma’mum.
Hadits no. 2 menunjukkan cara Rasulullah saw. menghadap ke arah kanan ma’mum. Oleh karenanya, imam boleh langsung menghadap ma’mum atau ke sebelah kanannya.
Z.  Pendapat para ulama tentang masbuq
      Tentang hal ini ada dua pendapat :
1. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ma’mum yang mendapatkan imam sedang ruku’, maka ia berarti mendapat satu raka’at, berdasarkan hadits-hadits :
1.1.   Siapa yang mendapatkan ruku’, berarti ia mendapat satu raka’at. (Hadits Riwayat Abu Dawud; Fiqh Sulaiman Rasyid : 116)
1.2.   Dari Abi Hurairah r.a., ia berkata : “Rasulullah saw. telah bersabda : ‘Apabila kamu sedang untuk shalat, padahal kami sedang sujud, maka sujudklah dan jangan kamu hitung sesuatu (satu raka’at) dan siapa yang mendapatkan ruku’ berarti ia mendapat satu ruku’ (raka’at) dalam shalatnya.” (Hadits Riwayat Abu Dawud I : 207)
         Menurut Jumhur “Yang dimaksud ruku’ – di sini – adalah raka’at. Jadi, siapa yang mendapatkan imam sedang ruku’ berarti ia mendapat (satu) raka’at.” (Al-Mu’in AL-Mubin I : 93)
1.3.   Juga telah diriwayatkan secara marfu’ dari Abi Hurairah : “Siapa yang mendapatkan ruku’ dari shalat sebelum imam menegakkan tulang rusuknya, berarti ia mendapat satu raka’at”. Dan telah dijadikan sebuah judul dari hadits tersebut. Bab yang menerangkan ketika – dalam hal mana – ma’mum mendapat satu raka’at manakala ma’mum (mendapatkan) ruku’ bersama imam. (Subulus Salam II : 36)
         Dalam riwayat Ad-Daruquthni yang dishahihkan oleh Ibnu Hibban (diterangkan) : “Siapa yang mendapatkan ruku’ dari shalat, sebelum imam menegakkan tulang rusuknya (bangkit dari ruku’), maka ia berarti mendapat satu raka’at.” (Masail Al-Muhimah : 37)
1.4.   Bahwa sesungguhnya Abu Bakrah telah datang untuk shalat bersama Nabi saw., sedang beliau dalam keadaan ruku’ – sebelum sampai menuju shaf – hal itu disampaikan kepada Nabi., maka beliau bersabda : “Semoga Allah menambah kesungguhanmu, tetapi jangan kamu ulangi lagi.” (Hadits Riwayat Bukhari)
Mereka yang berpendapat bahwa ma’mum ketinggalan Al-Fatihah berarti tidak mendapatkan raka’at. Jawaban atas pendapat/alasan golongan ini :
Pada hadits yang lain terdapat rawi yang bernama Yahya bin Abi Sulaiman Al-Mahdani. Menurut ‘Amir Al-Mukminin di dalam hadits ialah : Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari dalam Kitab Juz-u Al-Qira’at, Yahya- yang ini – munkaru al-hadits. (Mizanu Al-I’tidal IV : 383; ‘Ainu Al-Ma’bud III : 147)
Maksud ucapan Al-Bukhari “munkari al-hadits” :
Menurut (pernyataan Al-Bukhari : “Setiap orang yang kami nyatakan munkaru al-hadits berarti tidak dapat dijadikan hujjah.” – bahkan – dalam satu riwayat (dinyatakan) : “… tidaklah boleh meriwayatkan darinya.” (Fathu Al-Mughits I : 346)
Menurut yang lain, hadits tersebut telah diriwayatkan sendirian oleh Yahya bin Sulaiman, sedang dia itu tidak kuat hafalannya. (‘Aun Al-Ma’bud III : 147)
Hadits tersebut bukan dalil atas pendapat mereka, karena Anda pasti tahu bahwa yang disebut raka’at itu mencakup semua aspek bacaan, rukun-rukunnya secara hakiki, syara’, maupun ‘urf (kebiasaan). Kedua arti tersebut harus lebih didahulukan daripada arti menurut bahasa. Demikian ketetapan para ahli suhul (fiqh). (Nailul Authar II : 245)
Di sini tidak terdapat qarinah/alasan apapun yang memalingkan arti hakiki raka’at (kepada arti lain yakni ruku’), maka hadits termaksud bukan dalil bahwa yang mendapatkan imam dalam keadaan ruku’ berarti mendapat satu raka’at (‘Aun Al-Ma’bud III : 148)
Tertulis dalam catatan kami Al-Mughni atas Sunan Ad-Daruquthni : “Di dalam hadits termkasud ada seseorang rawi bernama Yahya bin Humaid. Menurut Al-Bukhari, tidak terdapat mutabi’ (jalan lain yang dapat menguatkan) haditsnya dan juga telah dinyatakan dhaif oleh Ad-Daruquthni.” (‘Aun Al-Ma’bud III : 148)
Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla telah menjawab/membahas mengenai hadits Abi Bakrah – menurutnya – bahwa hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah/alasan oleh mereka dalam hal termaksud, karena pada hadits tersebut tidak dinyatakan cukup (terhitung) raka’at. (‘Aun Ma’bud III : 141)
Menurut Al-Syaukani : “Dalam hadits tersebut tidak ada dalil/bukan dalil yang menguatkan pendapat mereka, karena sebagaimana dimaklumi tidak ada perintah untuk mengulangi (raka’at), tapi juga tidak menyatakan terhitung raka’at. Adapun Nabi mendo’akan kepadanya agar lebih bersungguh-sungguh itu tidak berarti terhitung raka’at.” (Nailul Authar II : 246)
2. Dalil-dalil yang menyatakan hanya mendapatkan ruku’ bersama imam tidaklah terhitung raka’at :
2.1.   Dari Abi Hurairah r.a., bahasanya ia berkata : “Jika engaku mendapatkan suatu kaum sedang ruku’, tidak terhitung raka’at.” (Hadits Riwayat Bukhari, ‘Aun Al-Ma’bud III : 146)
2.2.   Dari Qatadah, bahwanya Nabi saw. suka membaca Fatihah kitab pada setiap raka’at. (Hadits Riwayat Tirmidzi)
2.3.   Dari Abi Hurairah, dari Nabi saw., beliau bersabda : “Apabila kamu mendengar iqamat, pergilah untuk shalat dan kamu mesti tenang, santai serta tidak tergesa-gesa. Apa yang kamu dapati (bersama imam), shalatlah dan apa yang ketinggalan (dari imam), maka sempurnakanlah.” (Hadits Riwayat Al-Jama’ah)
2.4.   Menurut Imam Al-Hafizh dalam Kitab Fathu Al-Bari : “Hadits itu dapat dijadikan dalil/alasan bahwa orang yang mendapatkan imam sedang ruku’ tidak dihitung raka’at, karena ada perintah untuk menyempurnakan apa-apa yang ketinggalan, sedangkan – dalam hal ini – jelas ma’mum ketinggalan (tidak ikut) berdiri dan membaca Fatihah. (Fatihu Al-Bari II : 99)
2.5.   Dengan ini jelaslah kelemahan alasan-alasan pendapat jumhur yang menyatakan bahwa siapa yang mendapatkan imam dalam keadaan ruku’, termasuk raka’at bersama imam dan bisa dihitung satu raka’at sekalipun tidak mendapat bacaan Fatihah sedikitpun. (‘Aun Al-Ma’bud III : 147)
2.6.   Inilah Muhammad bin ‘Isma’il Al-Bukhari, salah seorang mujtahid serta figur/tokoh agama. Beliau berpendapat bahwa yang mendapatkan ruku’ (bersama-sama dengan imam) tidak dihitung mendapatkan raka’at sampai ia membaca Fatihah kitab (dengan sempurna). Barangsiapa yang masuk (shalat) bersama imam pada saat ruku’, maka ia mesti mengulangi lagi raka’at itu (yang tidak sempat membaca Fatihah) setelah imam salam. (‘Aun Al-Ma-bud III : 152)



Sumber : Habib Hassan bin Ahmad Al-Mahdaly (Radio Dakta 107.0 FM)