29 Mei 2013

SHALAT ISTISQA

Air adalah kebutuhan pokok bagi semua makhluk hidup. Bila terjadi kekurangan/kelangkaan air untuk keperluan hidup dan penghidupan, Islam menganjurkan shalat Istisqa, yaitu shalat dalam rangka memohonkan kepada Allah untuk diturunkan hujan.
Cara shalat Istisqa (Kaifiyat) ada dua macam :
A. Cara Pertama
Dijelaskan dalam suatu riwayat :
Telah berkata ‘Aisyah : “Orang-orang telah datang mengadu kepada Rasulullah saw. tentang ketiadaan hujan, maka Rasulullah saw. memerintahkan menyimpan mimbar, lalu mereka meletakkan mimbar itu di lapangan tempat shalat dan Rasulullah saw. tentukan satu hari buat manusia supaya keluar ke tempat shalat itu. Maka pada hari yang ditentukan, Rasulullah saw. keluar pada waktu terbit matahari, lalu beliau duduk di atas mimbar, lantas bertakbir dan memuji Allah ‘Azza wa jalla, kemudian beliau bersabda ‘Sesungguhnya kalian mengadu kekeringan negeri dan kelambatan turun hujan dibanding waktu yang biasa, padahal Allah ‘Azza wa jalla telah memerintahkan supaya kamu meminta kepada-Nya dan Ia janji akan memperkenankan permintaan kamu’. Kemudian beliau membaca : ‘Allahamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin.. balaaghan ilaa hiin’, kemudian beliau angkat dua tangan dan tetap mengangkat tangannya hingga kelihtan ketiaknya, lalu beliau membalikkan punggungnya membelakangi orang banyak, beliau memindah selendangnya dan tetap mengangkat kedua tangannya, kemudian beliau menghadap orang ramai, lalu beliau turun dan beliau shalat dua raka’at, lantas Allah adakan awan dan guruh dan kilat, lalu hujan dengan izin Allah.” (Hadits Riwayat AbuDawud)
Kesimpulan dari riwayat :
1. Cara shalat istisqa itu dua raka’at, tempatnya di lapangan dengan berjama’ah.
2. Cara shalat istisqa, Nabi saw. Keluar ke tempat shalat itu pada waktu naik matahari.
3. Cara shalat istisqa, Ada khutbah, tapi tanpa duduk sebentar, seperti khutbah shalat jum’at.
4. Cara shalat istisqa, khatib boleh berselang-seling menghadap dan membelakangi jama’ah dan khatib boleh memakai dan membalikkan selendang sebelah belakang menjadi sebelah depan, dengan mengharap supaya keadaan jadi berubah. Ini termasuk masalah ta’abbudi.
5. Cara shalat istisqa, angkat tangan tinggi-tinggi ketika berdo’a, merendah diri, bersungguh-sungguh meminta kepada Allah swt.
Di antara isi khutbah Rasulullah saw dalam shalat istisqa :

IBADAH

“Segala puji bagi Allah, Rabb semesata alam, Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Penyayang. Penguasa Hari Pembalasan. Tiada Tuhan kecuali Allah yang berbuat menurut kehendak-Nya. Ya Allah, Engkaulah Allah, Engkau Maha Kaya dan kami faqir. Turunkanlah hujan kepada kami dan jadikanlah yang Engkau turunkan kepada kami itu kekuatan dan perbekalan yang cukup sampai waktu yang tertentu. Ya Allah, tumbuhkanlah tanam-tanaman bagi kami, limpahkanlahsusu ternak kami, berilah kami barakah dari langit dan tumbuhkanlah barakah dari bumi bagi kami. Ya Allah, angkatlah kesulitan, kelaparan dan kebinasaan dari kami. Hilangkanlah bala bencana dari kami karena tidak ada yang akan menghilangkannya kecuali Engkau. Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, maka turunkanlah hujan dari langit sebanyak-banyaknya.” (Hadits Riwayat Abu Dawud)
B. Cara Kedua
Telah berkata Anas : “Sesungguhnya telah masuk seorang laki-laki ke masjid pada suatu hari Jum’at pada waktu Rasulullah saw. sedang berdiri berkhutbah. Maka ia menghadap Rasulullah saw. sambil berdiri, lalu berkata : ‘Ya Rasulullah, telah binasa binatang-binatang dan putsu pelayaran. Mintalah supaya Allah hujani kami’. Maka Rasulullah pun mengangkat kedua tangannya, lalu berdo’a : Allahumma aqhitsnaa, allahumma aqhitsnaa! Kemudian turun hujan’.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
Telah berkata Ibnu ‘Abbas : “Telah datang seorang Arab gunung kepada Nabi saw., lalu ia berkata : ‘Ya Rasulullah, saya datang dari suatu kaum yang kekeringan tumbuh-tumbuhan dan keputusan air’. Maka Nabi pun naik ke atas mimbar, lalu memuji Allah, lantas berdo’a : ‘Ya Rabb kami, cucurkanlah atas kami hujan yang bisa melepaskan, yang berlapis-lapis, yang menyuburkan, yang rata dan lebat, dengan cepat tidak lambat’. Lalu beliau turun. Sesudah itu tidak ada seorangpun datang dari desa-desa itu melainkan berkata : ‘Sesungguhnya hiduplah kami’.” (Hadits Riwayat Ibnu Majah)
Kesimpulan dari dua hadits di atas :
1. Mintalah hujan pada hari Jum’at itu tidak perlu dilakukan dengan cara shalat dan khutbah.
2. Mintalah hujan itu boleh dengan cara berdo’a di atas mimbar saja.


Sumber : Habib Hasan bin Ahmad Al-Mahdaly (Radio Dakta 107.0 FM)


24 Mei 2013

SHALAT ISTIKHARAH

Bila dalam kehidupan sehari-hari kita dihadapkan pada pilihan-pilihan yang harus kita sikapi dan kita dalam keadaan keraguan, tidak bisa menentukan mana yang terbaik, kita disunnahkan melakukan cara shalat sunnah istikharah dua raka’at untuk meminta ketetapan pilihan terbaik kepada Allah. Cara shalat istikharah sama dengan shalat sunnah biasa, hanya lebih baik dikerjakan di rumah.
Dalam suatu riwayat disebutkan :
Telah berkata Jabir : “Rasulullah saw. Pernah mengajar kami istikharah dalam semua urusan penting sebagaimana beliau mengajar kami surat Qur’an. Beliau bersabda : ‘Seorang dari kamu kalau mau mengerjakan satu perkara hendaklah shalat dua raka’at yang bukan fardhu, kemudian hendaklah ia berdo’a : Allahumma innii astakhiiruka…. dan hendaklah ia sebut hajatnya’.” (Hadits Riwayat Bukhari)
Doa Istikharah

 “Ya Allah, sesungguhnya saya mohon pilihan kepada-Mu berdasarkan ilmu-Mu. Saya mohon ketetapan-Mu atas kekuasaan-Mu, saya mohon kurnia-Mu yang besar karena hanya Engkaulah yang sungguh-sungguh berkuasa, sedang saya tidak berkuasa. Engkau Maha Mengetahui, sedang saya tidak tahu apa-apa. Engkau Maha Mengetahui tentang segala yang ghaib. Ya Allah, Engkau mengetahui jika urusan ini … baik untuk saya dalam segi agama saya, dalam segi kehidupan saya dan dalam segi akibat urusan saya atau katakan cepat atau lambat urusan saya, takdirkan ia untuk saya, mudahkan dan berkahilah saya dalam hal itu. Akan tetapi, jika Engkau mengetahui bahwa hal … jelek bagi saya dalam segi agama saya, dalam segi kehidupan saya dan dalam segi akibat urusan saya atau katakanlah cepat atau lambat urusan saya, jauhkanlah hal itu dari saya atau jauhkanlah saya darinya, kemudian takdirkan bagi saya kebaikan di mana saja adanya, kemudian ridhakanlah saya atas takdir-Mu itu.” (Hadits Riwayat Bukhari)


Sumber : Habib Hassan bin Ahmad Al-Mahdaly (Radio Dakta 107.0 FM)



23 Mei 2013

SHALAT JENAZAH DAN SHALAT GHAIB


SHALAT JENAZAH
Shalat jenazah dilaksanakan bertalian dengan meninggalnya seorang muslim atau muslimah, termasuk anak-anak mereka sekalipun itu karena keguguran (kluron). Hukumnya fardhu kifayah, yakni apabila telah ada sebagian orang yang menshalatkan, terlepaslah kewajiban orang yang tidak ikut menshalatkannya.
Bagi mereka yang ikut melaksanakan shalat jenazah, Rasulullah saw. bersabda :
“Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata : “Rasulullah saw. bersabda : ‘Barang siapa yang menyaksikan (berada di tempat) jenazah hingga ia ikut menshalatkannya, maka dia memperoleh pahala satu qirath. Barang siapa yang menyaksikan (berada di tempat jenazah) hingga jenazah tersebut dikubur, maka ia memperoleh pahala dua qirath’. Ditanyakan kepada beliau : ‘Apakah dua qirath itu?’ Beliau menjawab : ‘Seperti dua gunung besar’.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu ‘Abbas r.a., berkata : “Sesungguhnya saya mendengar Rasulullah saw. bersabda : ‘Tiada orang muslim yang meninggal dunia, lalu dishalatkan oleh empat puluh orang laki-laki yang tidak mempersekutukan sesuatu dengan Allah, kecuali Allah memberi syafa’at kepada mereka’.” (Hadits Riwayat Muslim)
Cara Shalat Jenazah
Cara shalat jenazah sebagaimana diterangkan dalam suatu riwayat :
Telah berkata Abu Umamah : “Seorang sahabat dari Nabi saw. telah mengabarkan kepadaku tentang shalat jenazah; (mula-mula) imam bertakbir, kemudian baca Al-Fathihah setelah takbir pertama dengan perlahan, kemudian shalawat kepada Nabi saw. dan mendo’akan si mati dengan ikhlas, dalam (tiga) takbir dan tidak baca Al-Qur’an di dalam takbir itu, kemudian ia bersalam dengan perlahan.” (Riwayat Syafi’i)
Jika mayat itu laki-laki, imam harus berdiri dengan cara menghadap kepalanya. Jika mayat itu perempuan, imam harus berdiri dengan cara menghadap perut.
Dari Samurah, ia berkata : “Saya shalat di belakang Rasulullah saw. untuk seorang wanita yang mati melahirkan. Rasulullah saw. berdiri (menghadap) bagian tengah tubuh mayit itu ketika menshalatkannya.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
Telah berkata Abu Ghalib : “Saya pernah menyaksikan Anas bin Malik menshalatkan mayat laki-laki dengan berdiri dekat kepalanya. Maka ‘Ala’ bin Ziyad bertanya : ‘Ya Aba Hamzah (Anas bin Malik), apakah demikian Rasulullah saw. berdiri dekat mayat laki-laki?’ Jawabnya : ‘Ya’.” (Hadits Riwayat Turmudzi)
Wudhu dahulu sebelum shalat jenazah
Sesungguhnya ‘Abdullah bin ‘Umar pernah berkata : “Tidak sah seorang laki-laki shalat jenazah, kecuali dia wudhu terlebih dahulu.” (Hadits Riwayat Malik, Al-Muwaththa’ I : 229)
Kesimpulan cara shalat jenazah :
1. Niatkan di dalam hati untuk menshalatkan jenazah karena Allah dan ikhlaskan do’a untuknya. Rasulullah saw. besabda : “Bila kalian shalat jenazah, hendaklah kalian berdo’a dengan ikhlas.” (Hadits Riwayat Abu Dawud)
2. Takbir empat kali
2.1. Takbir pertama untuk memulai shalat dengan cara mengangkat tangan, kemudian membaca ta’awwudz, dilanjutkan dengan cara membaca basmalah, kemudian membaca surat Al-Fathihah.
2.2. Takbir kedua dengan cara mengangkat tangan, selanjutnya membaca shalawat kepada Nabi saw. sebagaimana bacaan shalawat dalam tasyahhud akhir pada shalat wajib.
2.3. Takbir ketiga dengan cara mengangkat tangan, lalu mendo’akan si mayat dengan do’a :
Allahummagh fir li hayyna wa mayyitinaa wa shaghirinaa wa kabiirinaa wa dzakarinaa wa untsaanaa wa syaahidinaa wa ghaaibinaa allahumma man ahyaytahu minnaa fahyihi ‘ala islaami wa man tawaffaytahu minna fatawaffahu ‘ala imanani.
“Ya Allah, ampunilah dosa kami yang hidup dan yang mati, yang kecil dan besar, laki-laki dan perempuan, yang hadir dan yang tidak hadir. Ya Allah, siapa yang Engkau hidupkan di antara kami, hidupkanlah dia dalam Islam dan yang Engkau matikan di antara kami, matikanlah di dalam iman.” (Hadits Riwayat Muslim)
2.4. Takbir keempat dengan cara mengangkat tangan, lalu membaca do’a :
Allaahumma laa tahrimnaa ajrahu wa laa taftinnaa ba’dahu waghfir lanaa wa lahu
“Ya Allah, janganlah Engkau tahan untuk kami pahalanya dan janganlah Engkau tinggalkan fitnah untuk kami setelah kepergiannya serta ampunilah kami dan dia.” (Hadits Riwayat Syafi’i)
2.5. Setelah itu selesai dengan cara mengucapkan salam :
“Assalaamu ‘alaikum wa rahmatullah”
(Dengan cara menengok ke kanan dan ke kiri). Selesailah shalat jenazah.

SHALAT GHAIB
Shalat ghaib adalah menshalatkan jenazah secara ghaib (berada di tempat lain), baik dekat maupun jauh. Caranya sama seperti kita melaksanakan shalat jenazah.
Nabi saw. Menshalatkan jenazah (ghaib) ketika Raja Habasyah wafat dengan empat kali takbir.
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw. Telah mengabarkan kepada sahabat-sahabatnya hal kematian Najasyi (Raja Habasya) pada hari meninggalnya. Lalu beliau keluar bersama sahabat-sahabatnya ke tempat shalat dan beliau atur shaf mereka, lantas ia takbir empat kali. (Hadits Riwayat Bukhari)

Sumber : Habib Hassan bin Ahmad Al-Mahdaly (Radio Dakta 107.0 FM)

SHALAT SUNNAH DHUHA

Shalat sunnah Dhuha boleh dikerjakan dua raka’at, empat raka’at, enam raka’at dan paling banyak duabelas raka’at. Adapun waktunya kira-kira antara pukul 08 sampai pukul 11 pagi hari.
Cara shalat sunnah dhuha adalah sebagai berikut :
1. Shalat dengan cara dua raka’at sebagaimana hadits :
     Telah berkata Abi Hurairah : “Kekasih saya (Nabi saw.) telah berwasiat tiga perkara kepada saya, yaitu shaum tiga hari tiap-tiap bulan (tanggal 13, 14, 15), shalat dhuha dua raka’at dan shalat witir sebelum tidur.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
2. Shalat dengan cara empat raka’at atau lebih, sebagaimana hadits :
     Ada yang bertanya kepada’ Aisyah : “Adakah Rasulullah saw. shalat Dhuha?” Jawabnya : “Ada, yaitu empat raka’at, terkadang beliau tambah seberapa yang dikehndaki Allah.” (Hadits Riwayat Muslim)
3. Shalat dengan cara delapan raka’at, sebagaimana hadits :
     Telah berkata Ummu Hani’ : “Rasulullah saw. pergi mandi dan dilindungi oleh Fathimah, kemudian beliau ambil kainnya, lalu berselimut dengannya, kemudian beliau shalat delapan raka’at, yaitu shalat sunnah dhuha.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
Perlu diketahui bahwa Rasulullah saw. tidak mendawamkan (terus menerus) melaksanakan shalat sunnah Dhuha. Menurut riwayat Siti ‘Aisyah r.a., bahwa Rasulullah saw. hanya mengerjakan shalat Dhuha apabila beliau pulang dari bepergian sebagaimana riwayat :
Dari ‘Aisyah, bahwasanya ia pernah ditanya : “Apakah Rasulullah saw. shalat Dhuha?” Ia menjawab : “Tidak, kecuali apabila datang dari bepergian.” (Hadits Riwayat Muslim)
Pada keterangan lain, ‘Aisyah juga menerangkan :
“Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw. shalat sunnah Dhuha (dengan tetap), tetapi saya mengerjakannya.” (Hadits Riwayat Muslim)

Sumber : Habib Hassan bin Ahmad Al-Mahdaly (Radio Dakta 107.0 RM)

22 Mei 2013

SHALAT TAHIYYATUL MASJID

Nabi saw. bersabda : “Barang siapa di antara kamu masuk ke dalam masjid, janganlah duduk sebelum shalat dua raka’at.” (Hadits Riwayat Bukhari)
Nabi saw. bersabda : “Barang siapa di antara kamu masuk ke dalam masjid, maka shalatlah dua raka’at sebelum duduk.” (Hadits Riwayat Bukhari)
Cara melaksanakan shalat Tahiyyatul masjid pada setiap kita masuk masjid sebelum duduk shalat dua raka’at, terkecuali pada waktu terlarang, seperti sabda Rasulullah saw. :
“Nabi saw. melarang shalat setelah Shubuh sampai matahari terbit.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
“Nabi saw. melarang shalat setelah shalat ‘Ashar.” (Hadits Riwayat Bukhari)
“Rasulullah saw. melarang shalat tengah hari sebelum matahari tergelincir (ke Barat).” (Hadits Riwayat Abu Dawud)
Jadi ada tiga waktu yang dilarang Rasulullah saw. untuk melaksanakan shalat sunnah :
1. Setelah shalat Shubuh sampai matahari terbit.
2. Sesudah shalat ‘Ashar hingga hilangnya waktu ‘Ashar.
3. Ketika matahari berada di tengah-tengah (sebelum matahari tergelincir ke barat)

Sumber : Habib Hassan bin Ahmad Al-Mahdaly (Radio Dakta 107.0 FM)

SHALAT SUNNAH FAJAR

Ibadah shalat sunnah Fajar disebut juga shalat sunnah qabla Shubuh.
Rasulullah saw. bersabda : “Dua raka’at sunnah fajar itu lebih baik dari pada dunia berikut isinya.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Muslim)
Dari ‘Aisyah r.a., ia berkata :
“Saya tidak pernah melihat (Nabi saw.) bergitu rajin dan bersegera mengerjakan suatu kebaikan sebagaimana beliau rajin dan bersegera melakukan dua raka’at sebelum Shubuh.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Muslim)
“Janganlah kau tinggalkan dua raka’at sunnah fajar itu meskipun kamu dikejar oleh tentara berkuda.” (Hadits Riwayat Abu Dawud, Baihaqi dan Thahawi)
Dari tiga hadits tersebut diatas, kita dapat menilai bahwa shalat sunnah qabla Shubuh itu sangat penting. Cara pelaksanaannya seperti cara melakukan shalat sunnah biasa, membaca Fatihah pada setiap raka’at, tetapi lebih baik kalau pada raka’at pertama dilakukan dengan cara membaca surat Al-Kafirun dan cara bacaan pada raka’at surat Al-Ikhlas.
Dalilnya menurut riwayat Siti ‘Aisyah r.a., ia berkata :
“Dua surat itu sebaik-baiknya surat (Rasulullah saw.) membaca qul yaa ayyuhal kaafiruun dan qul huwallaahu ahad pada masing-masing raka’at dari shalat qabla Shubuh.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah)

Sumber : Habib Hassan bin Ahmad Al-Mahdaly (Radio Dakta 107.0 FM)

21 Mei 2013

SHALAT SUNNAH RAWATIB


Shalat sunnah Rawatib adalah termasuk dalam ibadah shalat sunnah Muqayyad, yaitu carak melaksanakan raka’at dan waktunya dibatasi, dikerjakan sebelum atau setelah ibadah shalat wajib yang lima waktu, yaitu :
1. Sebelum melaksanakan ibadah shalat Zhuhur terlebih dahulu melaksanakan shalat sunnah dengan cara dua raka’at atau empat raka’at.
2. Sesudah ibadah shalat Zhuhur melaksanakan shalat sunnah dengan cara dua raka’at.
3. Sesudah ibadah shalat Maghrib melaksanakan shalat sunnah dengan cara dua raka’at.
4. Sesudah ibadah shalat ‘Isya’ melaksanakan shalat sunnah dengan cara dua raka’at.
5. Sebelum ibadah shalat Shubuh melaksanakan shalat sunnah dengan cara dua raka’at.
Rasulullah saw. menjelaskan dalam beberapa hadits sebagai berikut :
Telah berkata ‘Abdullah bin ‘Umar : “Saya hafal tentang shalat sunnah Nabi saw., yakni sepuluh raka’at, dua raka’at sebelum Zhuhur dan dua raka’at sesudahnya, dua raka’at ba’dal Maghrib di rumahnya, dua raka’at ba’dal ‘Isya’ di rumahnya dan dua raka’at sebelum Shubuh.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
Kemudian untuk ibadah shalat sebelum Zhuhur boleh dilakukan dengan cara empat raka’at, dalilnya :
‘Aisyah r.a. berkata : “Adalah Nabi saw. shalat sebelum Zhuhur empat raka’at di rumahnya.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
“Barang siapa shalat dua belas raka’at sehari semalam selain dari shalat fardhu, maka akan dibangunkan baginya satu rumah di surga.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Muslim)
Dijelaskan bahwa Rasulullah saw. shalat sunnah denga cara empat raka’at sebelum shalat Zhuhur, maka jumlah shalat Rawatib menjadi 12 raka’at. Baik hadits yang menyebutkan 10 raka’at atau 12 raka’at, keduanya haditsnya shahih. Oleh karena itu, kita boleh memilih yang kita sukai.

Sumber : Habib Hasaan bin Ahmad Al-Mahdaly (Radio Dakta : 107.0 FM)